tag:blogger.com,1999:blog-229230882024-03-14T12:29:59.282+07:00Catatan Seorang Murid<br><b>Nabi Yesaya menulis: "Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid" (Yesaya 50:4).<br><br>Ini adalah catatan seorang murid yang sedang belajar, seperti Salomo yang berkata: "Aku memandangnya, aku memperhatikannya, aku melihatnya dan menarik suatu pelajaran" (Amsal 24:32).</b>Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.comBlogger25125tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-49501148293136137362015-01-14T08:32:00.004+07:002015-01-14T08:32:45.101+07:00PINDAH KE mashast.comTeman-teman, mulai saat ini blog Catatan Seorang Murid pindah tempat ke <a href="http://mashast.com/"><b>mashast.com</b></a> dan mirror-nya di <a href="http://catatanmuridku.wordpress.com/"><b>catatanmuridku.wordpress.com</b></a>. Sorry for the inconvenience. Semoga di tempat yang baru semakin banyak teman yang mendapat berkat. Jesus bless you!Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-82587530669669683742011-09-01T11:47:00.005+07:002011-09-02T23:53:46.854+07:00Kesempatan yang HilangKita mungkin pernah mengalami hal ini: sebuah peluang muncul, dan kita gagal untuk menangkapnya. Kadang-kadang, kegagalan itu disebabkan karena kita tidak tahu atau tidak bisa melihat bahwa ada sebuah peluang muncul di depan mata kita. Yang lebih sering terjadi adalah: kita melihatnya, namun—entah karena tidak percaya, kurang berani, atau enggan untuk membayar harganya—kita memilih untuk tidak menangkapnya.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Ketika Tuhan Yesus berada dalam perjalanan menuju Yerusalem—dengan menunggang keledai muda, diiringi sorak-sorai orang banyak yang menyambutnya dengan hamparan pakaian di tanah dan lambaian daun palem di udara, Ia memandang Yerusalem dan menangisi kota itu, kata-Nya (Lukas 19:42-44):<br />
<blockquote style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">"Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu. Sebab akan datang harinya, bahwa musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan, dan mereka akan membinasakan engkau beserta dengan pendudukmu dan pada tembokmu mereka tidak akan membiarkan satu batupun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat, bilamana Allah melawat engkau."</span></blockquote>Di tengah-tengah kegembiraan dan suasana perayaan, Tuhan Yesus menitikkan air mata—sebab Ia melihat keadaan yang sesungguhnya serta nasib yang menunggu Kota Yerusalem beserta seluruh penduduknya, yaitu: kehancuran total. Ia meratapi penduduk kota itu karena mereka tidak mengerti, tidak melihat, dan tidak mengetahui anugerah keselamatan Allah yang sedang ditawarkan kepada mereka. Ketidaktahuan dan ketidakmauan untuk menerima dan menanggapi lawatan Allah itu menjadi penyebab kehancuran hidup mereka.<br />
<br />
Penulis Kitab Ibrani pernah menuliskan “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!” (Ibrani 3:8,15). Referensi yang digunakan sang penulis adalah pengalaman masa lalu bangsa Israel yang seklipun telah berkali-kali melihat pernyataan dan kuasa Tuhan, mereka tetap berkeras hati, berontak, dan tidak mau menundukkan diri kepada Tuhan. Akibatnya, mereka harus menanggung murka Allah dan mayat-mayat mereka bergelimpangan di padang gurun (Ibrani 3:16-17).<br />
<br />
Terkait dengan suara Tuhan, ada dua masalah besar yang kita hadapi. Pertama, masalah exposure (terpaan, kesempatan untuk berjumpa) dengan Firman Tuhan. Ada orang yang akhirnya tidak mengalami pekerjaan Tuhan karena ia tidak pernah punya kesempatan untuk bertemu atau mendengar suara Tuhan. Seperti ditulis dalam Roma 10:14:<br />
<blockquote style="font-family: Verdana,sans-serif;"><span style="font-size: small;">“Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?”</span></blockquote>Jawaban dari masalah ini tentu saja adalah: menyediakan waktu untuk bertemu dengan Firman Tuhan secara teratur. Bagaimana dengan ibadah pribadi kita? Apakah kita memiliki waktu untuk membaca dan merenungkan Firman Tuhan? Apakah kita setia dan tidak menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita? Apakah kita memiliki mata, telinga, dan hati yang terbuka untuk menangkap dan belajar kepada-Nya?<br />
<br />
Masalah kedua, adalah masalah kesediaan untuk menundukkan diri dan mentaati suara Tuhan yang didengar. Dan ini masalah yang sangat besar, mengingat kita memiliki kecenderungan untuk tidak mau diatur siapapun, tetapi hanya mau mengikuti pikiran, selera dan kehendak kita sendiri. Mazmur 32:8,9 mencatat:<br />
<blockquote style="font-family: Verdana,sans-serif;"><span style="font-size: x-small;">“Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu. Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang, kalau tidak, ia tidak akan mendekati engkau.”</span></blockquote>Masalah kedua ini jauh lebih sulit penyelesaiannya, karena menyangkut sifat dasar kita yang telah dicemari oleh dosa. Tuhan Yesus mengatakan, bahwa penyelesaiannya hanya dengan cara: menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Dia (Lukas 9:23). Bagaimana respons kita saat suara-Nya kita dengar? Membuat berbagai alasan untuk tidak tunduk atau menunda ketaatan? Ataukah dengan rendah hati bersedia mengakui kedaulatan Tuhan atas hidup kita, dan kemudian membuat keputusan dan langkah yang jelas untuk mentaati Dia?<br />
<br />
Benar, Tuhan adalah Pribadi yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya. Benar, bahwa Ia memberikan kesempatan yang begitu luas kepada manusia untuk mengenal, berbalik, dan mentaati-Nya. Namun, waktu hidup kita ini terbatas—akan ada titik di mana kita akan dipanggil pulang. Betapa celakanya apabila saat sampai di titik itu, kita tetap melewatkan lawatan Tuhan atas hidup kita—karena kita sudah terlanjur terbiasa untuk mengabaikan suara-Nya.<br />
<br />
Mumpung masih ada waktu, “pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!”Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-19451033225496222052011-01-11T08:57:00.002+07:002011-09-19T19:41:01.101+07:00Antara Aladdin dan Salomo<blockquote>“Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?” (1 Raja-raja 3:9)</blockquote><br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<b>Mintalah Apa Saja!</b><br />
<br />
Dalam Kisah 1001 Malam, ada sebuah dongeng tentang Aladdin; seorang pemuda gelandangan yang menemukan sebuah lampu tua. Ketika lampu itu digosok untuk dibersihkan, keluarlah jin yang mampu memberikan apa saja yang diminta. Namun, Aladdin hanya boleh mengajukan tiga permintaan.<br />
<br />
Dari dongeng itu, kita tahu apa yang pertama kali diminta oleh Aladdin: kekayaan. Dan dengan kekayaan itu kemudian ia bisa menikah dengan seorang putri cantik—yang semula tidak akan pernah bisa dikenalnya ketika ia masih miskin. Aladdin berpikir bahwa persoalan utama hidupnya adalah kemiskinan; maka ketika ia diberi hak memilih cara untuk mengubah nasibnya, kekayaanlah yang menjadi pilihan utama dan satu-satunya.<br />
<br />
Sebuah kisah lain—ini bukan dongeng, tapi kisah nyata—dicatat dalam kitab 1 Raja-raja 3:1-15. Raja Salomo mewarisi sebuah kerajaan yang besar dari ayahnya. Tidak hanya ia mewarisi kekuasaan, kekayaan, kejayaan, dan kemuliaan; namun ia harus melanjutkan pemerintahan Raja Daud—seorang raja dengan track record yang tak tertandingi.<br />
<br />
Semua orang mengenal kisah perjalanan Raja Daud, sejak ia menjadi gembala di Betlehem, keberaniannya saat mengalahkan raksasa Goliat, prestasi militernya ketika menjadi panglima Raja Saul, sampai kejayaannya sebagai raja Israel yang kedua. Namun, yang lebih menggetarkan adalah: Daud direkomendasikan oleh Allah sendiri sebagai seorang yang berkenan di hati-Nya (Kisah Rasul 13:22). Dapatkah Anda membayangkan betapa gamang dan groginya Salomo ketika ia harus menapakkan kakinya melanjutkan jejak-jejak yang sudah dibuat oleh ayahnya?<br />
<br />
Di tengah suasana batin seperti itu, sebuah kesempatan emas terbuka di hadapan Salomo. Pada malam hari setelah upacara ibadah besar-besaran di Gibeon, Allah menampakkan diri-Nya kepada Salomo dalam sebuah mimpi dan mengucapkan kalimat yang diharapkan oleh setiap orang: “Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu.” (1 Raja-raja 3:5). Dan berbeda dari Aladdin, Salomo menjawab: saya meminta hikmat!<br />
<br />
<b>Pilihan Terbaik</b><br />
<br />
Sangat menarik apa yang diucapkan Salomo sebagai jawaban! Ia tidak meminta kekayaan; padahal kekayaan berarti kemakmuran dan kesejahteraan bagi kerajaannya. Prestasi seorang pemimpin biasanya dinilai dari kemampuannya untuk membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Salomo juga tidak meminta kemenangan atas musuh-musuhnya; padahal pada masa itu, kejayaan seorang pemimpin diukur dengan prestasi militer untuk mengalahkan musuh dan melebarkan wilayah jajahan. Ia juga tidak meminta umur panjang; sebuah keinginan yang dimiliki seorang raja—untuk bisa terus menikmati hidup dan berkuasa; melihat keturunannya jaya selamanya.<br />
<br />
Salomo tahu bahwa tiga hal itu diperlukan bagi kelangsungan pemerintahanya; ia juga tahu bahwa perkara-perkara itu adalah yang diingini semua orang. Namun Salomo sadar bahwa ada yang lebih penting daripada semuanya, yaitu: “hati yang hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat” (1 Raja-raja 3:9).<br />
<br />
Allah berkenan dengan jawaban Salomo! Sebab, di mata Allah, memang itulah hal yang paling penting di dalam hidup seseorang: kemampuan untuk mengenal apa yang benar menurut standar Allah, dan hidup berdasar standar kebenaran itu! Dalam Alkitab, kemampuan itu sering disebut sebagai hikmat. Hikmat adalah kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang jahat. Salomo mendefinisikannya sebagai “pengertian tentang takut akan TUHAN dan mendapat pengenalan akan Allah” (Amsal 2:5); atau dalam bahasa Rasul Paulus, kemampuan untuk “membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2).<br />
<br />
Hikmat tidak identik dengan tingkat pendidikan, keluasan wawasan, maupun usia atau pengalaman seseorang. Bukankah kita sering menemui orang dengan pendidikan tinggi, pengalaman luas, maupun usia lanjut namun tidak mampu membedakan apa yang benar sesuai kehendak Allah?<br />
<br />
Hikmat jauh lebih penting dari segalanya, sebab itulah modal utama (atau satu-satunya) untuk hidup berkenan di hadapan Allah. Seperti rekomendasi Allah tentang Daud: “Aku telah mendapat Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan segala kehendak-Ku” (Kisah 13:22). Kehidupan yang berkenan kepada Allah ukurannya adalah: apakah seseorang hidup benar sesuai dengan kehendak Allah.<br />
<br />
Salomo kemudian menulis sebagian besar dari kitab Amsal; yang isi utamanya adalah mengenai pentingnya hikmat bagi hidup seseorang. Hikmat jauh lebih berharga dari permata, bahkan lebih berharga dari apapun yang diinginkan oleh manusia (Amsal 3:13-15). Di dalam Amsal, hikmat selalu dikontraskan dengan kebebalan, yaitu kondisi di mana seseorang tidak mengenal jalan yang benar dan hanya hidup menuruti keinginan dan hawa nafsunya sendiri.<br />
<br />
Tuhan Yesus menyatakan bahwa hikmat—yang dibahasakan-Nya dengan istilah “Kerajaan Allah dan kebenarannya”—itu lebih penting untuk dikejar daripada kebutuhan sehari-hari; sebab semua kebutuhan kita akan ditambahkan oleh Allah ketika kita mencari hikmat-Nya. Salomo sendiri akhirnya juga dikaruniai kekayaan, kejayaan, dan umur panjang sebagai penghargaan Allah oleh karena Salomo telah memilih yang terbaik (1 Raja-raja 3:11-14).<br />
<br />
<b>Mengejar Harta Terpendam</b><br />
<br />
Hikmat diperlukan oleh semua orang. Setiap saat, di dalam konteks kehidupan kita masing-masing, kita dihadapkan dengan keputusan dan pilihan yang harus kita ambil. Dan hanya dengan pertolongan hikmat kita bisa mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kehendak Allah. Dengan pimpinan hikmat sajalah kita dapat menjatuhkan pilihan yang sesuai dengan standar kebenaran Allah.<br />
<br />
Baiklah kita mengambil ilustrasi dari aspek profesi atau pekerjaan. Tidak semua bidang pekerjaan atau profesi memerlukan pendidikan yang tertinggi, namun semua profesi pasti memerlukan hikmat. Seorang buruh pabrik, misalnya, tidak memerlukan pendidikan tingkat S-2 atau doktoral untuk melakukan pekerjaannya. Namun, ia mutlak membutuhkan hikmat untuk bekerja dengan benar, berkualitas, dan jujur, serta harmonis dalam berinteraksi dengan kawan sekerjanya. Di sisi lain, seorang dosen perlu meraih pendidikan tertinggi, namun bukan titel akademisnya itu yang menjamin ia bisa menjadi dosen yang baik dan berintegritas; melainkan hikmat dari atas!<br />
<br />
Di awal tahun 2011 ini, kita kembali diingatkan betapa kita memerlukan hikmat itu. Sebagian besar dari kita, di awal tahun, akan membuat perencanaan dan menentukan target-target yang ingin diraih serta perbaikan-perbaikan hidup yang ingin kita lakukan. Hikmat Allah kita perlukan, tidak hanya untuk membuat perencanaan, namun terlebih lagi untuk menjalani kehidupan kita. Agar di akhir tahun nanti, bukan penyesalan yang kita gemakan di dalam batin kita.<br />
<br />
Beberapa orang di antara kita sedang memulai sebuah perjalanan hidup yang baru. Ada yang akan menikah dalam waktu dekat, ada yang baru saja menikah, dan ada yang bersiap untuk mengasuh anak pertama mereka. Hikmat Illahi mutlak diperlukan di dalam menempuh perjalanan itu: agar standar kebenaran Allah yang mewarnai setiap keputusan dan perilaku dalam hubungan suami-istri maupun orangtua-anak.<br />
<br />
Salomo mencatat bahwa, memperoleh hikmat itu adalah sesuatu yang harus diinginkan dengan sungguh-sungguh. Kerinduan mendapatkan hikmat ia umpamakan sebagai keinginan besar seseorang yang “mencarinya seperti mencari perak, dan mengejarnya seperti mengejar harta terpendam” (Amsal 2:4). Ketika orang bersungguh-sungguh merindukan hikmat, maka ia akan mendapatkannya. Pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana kita memperoleh hikmat itu?<br />
<br />
Cara <i>pertama</i> untuk memperoleh hikmat adalah dengan <b>memintanya kepada Allah</b>. “Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian” kata Salomo dalam Amsal 2:6. Rasul Yakobus mendorong orang yang kekurangan hikmat untuk memintanya kepada Allah (Yakobus 1:5). Salomo meminta hati yang berhikmat untuk memerintah bangsanya, dan Allah berkenan dengan permintaan itu.<br />
<br />
<i>Kedua</i>, <b>persekutuan yang terus-menerus dengan firman Allah</b>. Prinsip-prinsip kebenaran Allah yang menjadi pedoman bagi hikmat sudah tercatat di dalam Alkitab. Semua tulisan dalam Alkitab ini diilhamkan oleh Allah, tulis Paulus kepada Timotius (2 Timotius 3:16), dan bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran. Bukankah manfaat dari firman Tuhan itu sama dengan pengertian dari hikmat? Tuhan Yesus memuji Maria yang telah memilih “bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya”, yaitu duduk diam di kaki Tuhan dan mendengarkan firman-Nya (Lukas 10:42).<br />
<br />
<b>Melawan pengaruh dunia</b> adalah cara <i>ketiga</i> untuk menumbuhkan hikmat dalam diri kita. Kemampuan untuk membedakan apa yang baik, berkenan kepada Allah, dan sempurna itu diperoleh ketika orang tidak “menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan akal budimu” (Roma 12:2). Hikmat Allah yang kita terima tidak akan bertumbuh dan berkembang ketika kita membiarkan diri terkontaminasi oleh prinsip dan tata nilai dunia.<br />
<br />
Salomo melakukan kesalahan ini, ketika ia menikah dengan banyak perempuan yang tidak mengenal Allah, sehinga cara hidup mereka membuat hatinya condong kepada illah-illah lain, darin ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada Allah (1 Raja-raja 11:3-4). Apa yang kita baca, dengar, tonton, perbincangkan, dan pikirkan setiap hari akan mempengaruhi perkembangan hikmat di dalam hidup kita. Jaga kemurnian pikiran kita dengan disiplin untuk hanya memikirkan hal-hal yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, kebajikan, dan yang patut dipuji (Filipi 4:8).<br />
<br />
<i>Akhirnya</i>, hikmat itu akan menjadi matang ketika kita <b>mengaplikasikannya di dalam hidup sehari-hari</b>. Tidak ada gunanya mengetahui apa yang benar, namun tidak melakukannya. Orang yang berhikmat atau dewasa secara rohani dipahami sebagai orang yang “mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat” (Ibrani 5:14). Dalam versi <i>Amplified Bible</i>, tertulis “<i>for those whose senses and mental faculties are trained by practice to discriminate and distinguish between what is morally good and noble and what is evil and contrary either to divine or human law</i>.”<br />
<br />
Seumpama saat ini Allah menyatakan diri kepada kita, dan bertanya: “Apa yang kauinginkan untuk Kuberikan kepadamu?”, apakah jawab kita? Apakah kita dengan tulus dan segenap hati bisa berkata: “Hikmat. Hanya hikmat yang kuinginkan dariMu.”?<br />
<br />
<a expr:href='"http://www.facebook.com/sharer.php?&u=" + data:post.url' target='_blank'>Share on Facebook</a>Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1147258673821114722006-05-10T16:51:00.001+07:002011-09-01T15:38:37.099+07:00Tentang PerasaanHari ini, perasaan saya campur aduk. Senang bercampur sedih, bersyukur bercampur kecewa, <span style="font-style: italic;">excited </span>bercampur <span style="font-style: italic;">distressed</span>. Padahal, itu semua saya rasakan pada saat menghadapi sebuah kenyataan yang sama. Mengapa bisa begitu? Satu peristiwa, satu fakta, satu keadaan; namun saya meresponinya dengan perasaan yang bermacam-macam dan saling bertentangan?<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Pikiran saya mengatakan bahwa kenyataan itu benar adanya. Nalar saya mengetahui bahwa memang keadaan itulah yang sebaiknya dan seharusnya terjadi. Saya menginginkan supaya hal itu terjadi. Saya mendoakan supaya keadaan itu terwujud. Namun, ketika keinginan dan doa saya itu benar-benar menjadi kenyataan, perasaan saya tidak bisa 100% sinkron dengan pikiran saya. Sebagian perasaan saya justru sulit menerima, dan menjadi terluka. Kok bisa?<br />
<br />
Saya tidak ingin berada di dalam situasi seperti ini. Yang saya inginkan adalah: saya bisa menerima keadaan yang baik itu dengan seluruh totalitas jiwa saya--pikiran, kehendak, dan perasaan saya. Namun, seperti yang sering kali terjadi di dalam hidup saya, perasaan sayalah yang selalu bermasalah. Perasaan saya, walau tidak semuanya, berada di dalam posisi yang berseberangan dengan pikiran dan kehendak saya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Saya sadar, bahwa saya tidak bisa hidup tanpa perasaan. Tuhan yang mendesain saya sehingga saya memiliki perasaan. Berarti, perasaan itu baik adanya. Seperti semua yang diciptakan Tuhan. Tanpa perasaan, saya akan hidup seperti robot atau komputer: tahu apa yang harus dilakukan, mau untuk melakukannya, namun melakukannya tanpa emosi apapun.<br />
<br />
Sebagai Manusia Sejati, Tuhan Yesus juga memiliki perasaan. Ke-4 Injil mencatat bagaimana Tuhan Yesus mengekspresikan perasaanNya: belas kasihan kepada orang banyak, terharu sampai menangis ketika melayat Lazarus, bergembira saat murid-murid kembali dari latihan pelayanan, marah melihat Bait Allah menjadi tempat berdagang, dan gentar serta tertekan di Taman Getsemani.<br />
<br />
Dari apa yang saya baca tentang Tuhan Yesus, ketiga aspek jiwaNya (pikiran, kehendak, dan perasaan) selalu sinkron, <span style="font-style: italic;">integrated</span>, dan tidak terbagi-bagi. Hanya satu kali saja Dia mengalami konflik internal, di mana perasaanNya bertentangan dengan pikiran dan kehendakNya. Dan kesempatan yang satu kali itu merupakan pergumulan terbesar di dalam hidupNya sebagai Manusia.<br />
<br />
***<br />
<br />
Taman Getsemani. Tuhan Yesus sudah tahu, bahwa Allah Bapa menghendaki Ia menebus dosa manusia dengan jalan kematian. Tuhan Yesus merasa gentar, tertekan, sedih--seperti mau mati rasanya (Matius 26:38). PikiranNya tahu apa yang harus dikerjakan, perasaanNya sulit menerima; sehingga terjadi konflik internal di dalam jiwaNya.<br />
<span style="font-family: verdana; font-size: 85%;"></span><br />
<blockquote><span style="font-family: verdana; font-size: 85%;">Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: </span><span id="r"><span style="font-family: verdana; font-size: 85%;">"Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:38)</span></span></blockquote><span id="r"><span style="font-family: verdana; font-size: 85%;"></span><span style="font-style: italic;">Can you see His struggle?</span> Di satu sisi, Ia tahu apa yang dikehendaki BapaNya, namun Ia berdoa supaya kalau boleh Ia tidak perlu mengalami kehendak Bapa itu. Kalau mungkin, biarlah BapaNya memakai cara lain untuk menggenapi rencanaNya. PerasaanNya sulit untuk menerima dengan total kehendak BapaNya, maka Ia menawar: <span style="font-style: italic;">"Is it possible to do it in another way?"</span><br />
<br />
Tuhan Yesus jujur dengan perasaanNya. Ia tidak menutup-nutupi keberatanNya. Ia tidak menunjukkan sikap "alim" dan "saleh" yang pura-pura. Ketika Ia mengalami pergumulan, Ia mengatakannya dengan terus-terang. Betapa berbeda dengan saya: saya bisa tampil kooperatif, tersenyum mengiyakan; namun sebenarnya perasaan saya memberontak.<br />
<br />
Tuhan Yesus tidak berhenti kepada mengekspresikan perasaanNya. Ia dengan sadar memilih untuk tidak mengikuti perasaan itu, tetapi menundukkan diri kepada kehendak BapaNya. Ia tidak menyembunyikan perasaanNya, namun Ia tidak membiarkan perasaan itu yang menentukan tindakanNya. Ia memilih untuk tunduk, apapun perasaan yang dimilikiNya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Yang membuat saya heran adalah: Ia sampai harus 3 kali menaikkan doa yang sama. Mengapa? Bukankah Ia sudah memutuskan untuk tunduk kepada kehendak Bapa? Mengapa Ia masih perlu mengulangi doa itu?<br />
<br />
Ini yang saya pikirkan. Saya bisa salah menafsirkan. Namun, inilah yang saya kira sebagai jawabannya. Tuhan Yesus pernah mengatakan bahwa perintah terbesar adalah: mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatan (Markus 12:30). Ia tahu, ketaatan yang diingini Allah adalah ketaatan yang melibatkan seluruh totalitas hidup orang. Menyeluruh, tidak parsial; melibatkan seluruh pikiran, kehendak, dan perasaan.<br />
<br />
Allah ingin, kalau seseorang itu taat, ia tidak hanya tahu apa yang harus dilakukan dan mau melakukannya, namun juga melakukan ketaatan itu dengan perasaan yang rela dan senang hati. Itulah sebabnya, Allah tidak berkenan dengan bangsa Israel: mereka tahu harus pergi ke Tanah Perjanjian, mereka mau berjalan, namun mereka melakukannya tanpa perasaan yang rela--bersungut-sungut terus selama perjalanan.<br />
<br />
Pernahkan kita melihat seseorang yang melakukan sesuatu tanpa kerelaan dan kesukaan? Benar, dia tahu apa yang harus dikerjakannya. Benar, dia memang mengerjakannya. Namun, dia mengerjakannya dengan wajah muram dan tanpa kegembiraan. Bukankah kita sebel melihat orang itu? Kita biasanya akan berpikir: mendingan tidak usah dikerjakan sekalian, daripada dikerjakan tapi tanpa sukacita.<br />
<br />
Kembali kepada pergumulan Tuhan Yesus di Getsemani. Saya pikir, Tuhan Yesus perlu berdoa sampai 3 kali, oleh karena Ia mau perasaanNya berubah. Ia ingin, ketika Ia melakukan kehendak BapaNya, Ia melakukannya tanpa merasa terpaksa atau berat hati. Ia ingin, agar ketaatanNya adalah ketaatan yang total.<br />
<br />
Ini yang saya yakini: ketika Tuhan Yesus selesai berdoa untuk yang ke-3 kalinya, perasaanNya sudah tidak lagi sama. Saya yakin, pergumulanNya telah selesai. Tidak ada lagi resistensi, tidak ada lagi keberatan. Ia sekarang siap untuk melakukan kehendak BapaNya dengan segenap pikiran, kehendak, dan perasaanNya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Saya sadar, perasaan saya belum bisa sepenuhnya berdamai dengan apa yang harus saya kerjakan. Namun, saya ingin belajar dari Tuhan Yesus: tetap memilih untuk mentaati kehendak Tuhan yang sudah saya ketahui, sekalipun perasaan saya bertentangan. Saya mengerti, apabila saya tekun dengan pilihan itu, perasaan saya akan mengikuti.<br />
<br />
Saya sadar, bahwa proses penyatuan pikiran, kehendak, dan perasaan itu butuh waktu. Tuhan Yesus saja harus berdoa sampai 3 kali. Itu berarti, saya juga akan mengalami proses yang sama. Yang jelas, saya tidak boleh berhenti memilih untuk taat dan menerima kehendak Tuhan.<br />
<br />
Kalau saya menuruti perasaan yang bertentangan itu, maka saya tidak akan pernah jadi mentaati Tuhan. Namun kalau saya tekun dengan pilihan yang benar, maka perasaan saya akan<span style="font-style: italic;"> fall in line</span>. Dan, saat itulah saya akan merdeka. Merdeka untuk mentaati Dia!<br />
</span>Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1147217526849307382006-05-10T06:28:00.002+07:002011-09-04T08:25:30.490+07:00The Impossible LifeSatu bulan terakhir, saya berulang-ulang memikirkan kalimat ini: <span style="font-style: italic;">“Christian life is not a difficult life, but it is an impossible life!”</span> Tidak, saya tidak salah tulis! Hidup Kristen itu bukannya sulit untuk dijalani, melainkan memang MUSTAHIL untuk dijalani! Tidak ada orang yang akan bisa menjalani hidup Kristen, sebab standard hidup yang dituntut oleh Tuhan begitu tinggi!<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Ketika saya melihat hidup saya selama 35 tahun ini, saya harus mengakui betapa jauhnya saya dari standar yang diinginkan oleh Tuhan. Padahal, saya mengaku sebagai seorang Kristen.<br />
<br />
Matius 5 mencatat penjelasan Tuhan Yesus mengenai cara melakukan Hukum Tuhan. Tiap kali membaca bagian ini, saya menjadi stress melihat hidup saya sendiri. Di sana terlihat betapa tingginya ukuran yang dituntut oleh Tuhan:<br />
<ul><li>ketaatan saya harus melampaui ketaatan orang Farisi (ayat 20)</li>
<li>memaki orang lain sama dosanya dengan melakukan pembunuhan (ayat ayat 21,22)</li>
<li>perzinahan telah terjadi pada saat saya baru mulai memikirkannya (ayat 27,28)</li>
<li>saya dituntut untuk memiliki kejujuran yang mutlak (ayat 37)</li>
<li>saya tidak boleh membalas, namun harus mengasihi musuh yang menganiaya (ayat 43,44), dan seterusnya<br />
</li>
</ul>Kemudian, Tuhan Yesus menutup penjelasanNya itu dengan satu kesimpulan: ”Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:4).<br />
<br />
Perhatikan kalimat itu. <u>Kesempurnaan hidup bukanlah merupakan pilihan, tetapi suatu keharusan!</u> Dan ukuran kesempurnaan yang harus dicapai adalah kesempurnaan Allah Bapa sendiri! Siapa yang akan bisa memenuhi standard ini? Siapa yang akan mampu mencapainya?<br />
<br />
***<br />
<br />
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Mungkinkah Tuhan memerintahkan agar saya melakukan sesuatu yang mustahil untuk saya lakukan? Bukankah dalam Roma 3:23, Tuhan sendiri yang berkata bahwa ”Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”?<br />
<br />
Kalau Ia sudah tahu bahwa saya tidak akan bisa memenuhi standard-Nya, namun Ia masih tetap menuntut saya untuk mencapai standard itu; bukankah itu berarti bahwa Ia adalah Tuhan yang kejam dan sewenang-wenang? Itu sama seperti seorang bapak yang menyuruh anaknya untuk terbang dari atas tebing, padahal ia sudah tahu bahwa anaknya tidak punya sayap.<br />
<br />
Firman Tuhan dipenuhi dengan kesaksian bahwa Tuhan adalah Bapa yang mengasihi saya. Begitu besar kasih-Nya, sampai Ia memberikan AnakNya yang Tunggal untuk mati bagi saya (Yohanes 3:16). Mazmur mencatat sifat TUHAN yang penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia (Mazmur 103:8). Jadi, Dia bukanlah Allah yang kejam, melainkan Allah yang penuh belas kasihan kepada anak-anakNya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Kalau Dia bukan Allah yang kejam, lalu mengapa Ia memberikan perintah yang mustahil untuk dijalani itu? Mungkinkah Tuhan hanya ”berbasa-basi” ketika menuntut agar hidup saya sempurna?<br />
<br />
Jangan-jangan, Ia sebenarnya tidak memerintahkan saya agar 100% taat, namun hanya dalam rangka untuk memberi motivasi kepada saya agar hidup sungguh-sungguh kepadaNya. Sama seperti seorang boss yang memberikan sedikit ”kata-kata keras” sebagai <span style="font-style: italic;">shock therapy</span> kepada anak buahnya agar tidak sembarangan dalam bekerja.<br />
<br />
Tetapi, Alkitab tidak pernah menggambarkan Tuhan sebagai Pribadi yang suka berbasa-basi. Kalau Ia mengatakan sesuatu, memang itulah yang diinginkanNya. Kalau Tuhan berkata ”Ya” maka itu berarti ”Ya”, dan kalau Ia berkata ”Tidak”, maka itu artinya ”Tidak” (Matius 5:37).<br />
<br />
Ia tidak pernah menarik kata-kataNya, Ia tidak pernah mengingkari apa yang sudah diucapkanNya sendiri: ”Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta; bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?” (Bilangan 23:19).<br />
<br />
Jadi, kalau Ia mengharuskan agar saya hidup sempurna, maka itu berarti memang Ia sungguh-sungguh menuntut saya untuk sempurna.<br />
<br />
***<br />
<br />
Di satu sisi, Tuhan menuntut agar saya hidup sempurna. Di sisi lain, saya tahu bahwa saya takkan pernah sanggup memenuhi tuntutan itu. 18 tahun saya mengenal Tuhan, dan berjuang setengah mati untuk hidup sesuai Firman Tuhan. Namun tetap saja saya tidak pernah bisa mencapai standard itu! Lalu saya harus bagaimana lagi?<br />
<blockquote style="font-family: verdana;"><span style="font-size: 85%;">Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik ... Sebab bukan apa yang kukehendaki, yaitu yang baik yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat ... Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Roma 7:18,19,24</span>)</blockquote>Perjalanan hidup Kristen saya itu seperti seorang yang melangkah mendekati sebuah cermin. Cermin itu adalah Firman Tuhan. Ketika saya masih berdiri jauh dari cermin itu, maka tubuh saya terlihat sempurna. Namun, semakin saya mendekati cermin itu, semakin jelas terlihat cacat dan kekurangan di dalam tubuh saya.<br />
<br />
Semakin lama saya mengenal Tuhan, semakin dalam saya mempelajari FirmanNya, semakin banyak yang saya ketahui tentang kebenaranNya; semakin sedih saya melihat hidup saya sendiri. Tahun demi tahun berlalu di dalam perjalanan saya bersama Tuhan. Saya justru semakin banyak menemukan kelemahan, kegagalan, keburukan, dan cacat di dalam karakter saya.<br />
<br />
***<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">Christian life is not a difficult life, but it is an impossible life!</span> Saya 100% menyadari hal itu. Saya adalah saksi hidup bagaimana mustahilnya standar Allah itu dicapai. Tetapi, apakah itu berarti saya harus menyerah?<br />
<br />
Saya tidak bisa menyerah. Karena Tuhan memerintahkan saya agar mencapai kehidupan seperti yang diinginiNya. Kalau saya menyerah, berarti saya memutuskan untuk tidak hidup sesuai keinginanNya.<br />
<br />
Saya tidak boleh menyerah. Namun, bagaimana caranya?Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1147130357283629082006-05-09T06:15:00.001+07:002011-09-01T15:40:24.593+07:00Sebuah SMS di Pagi ButaSuatu pagi, jam 5.30, seorang teman yang tinggal di Blacktown mengirimi saya sms. Dia meminta agar saya menyalakan TV Channel Ten. Saya langsung tahu apa yang dia maksudkan. Saya dan teman ini memang sedang menunggu-nunggu acara tersebut sejak sebulan yang lalu. Waktu saya nyalakan TV, saya menyaksikan rekaman KKR Rev. Benny Hinn di Jakarta.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Saya melihat beberapa orang maju ke depan untuk bersaksi betapa Tuhan sudah menjamah dan menyembuhkan penyakit mereka. Dan kemudian, Rev. Benny Hinn mengatakan: ”Mujizat terbesar bukanlah mujizat fisik. Mujizat terbesar adalah mujizat rohani!” Ia menantang yang hadir untuk berdoa menerima Tuhan Yesus saat itu juga.<br />
<br />
Saya melihat tangan-tangan terangkat ke langit. Saya melihat mulut-mulut bergerak mengucapkan doa mengundang Tuhan Yesus. Saya menyaksikan begitu banyak jiwa terbuka untuk mengalami mujizat rohani itu. Tangan-tangan, mulut-mulut, jiwa-jiwa saudara sebangsa saya. Pagi itu, saya menangis melihat itu semua. Puji Tuhan!<br />
<br />
***<br />
<br />
Setelah acara TV itu selesai, sebuah pemikiran muncul di dalam hati saya. Mengapa teman saya ini ”berani” mengirim sms di pagi buta? Padahal, isi sms-nya bukanlah sesuatu yang bersifat <span style="font-style: italic;">emergency</span>. Sejujurnya, tidak banyak orang yang bisa melakukan hal itu. Ketika saya mencoba menghitung-hitung; selain Rut—istri saya, ternyata tidak lebih dari 5 orang yang bisa dan pernah melakukannya.<br />
<br />
Oh, saya tidak akan pernah menolak siapapun yang menelepon atau mendatangi saya kapanpun juga. Sejak bertahun-tahun yang lalu, saya memutuskan di hadapan Tuhan untuk membuka hidup saya 24 jam bagi orang lain. Selama tidak ada komitmen lain yang harus saya lakukan, saya akan <span style="font-style: italic;">available</span>. Namun, pada kenyataannya, walaupun saya punya banyak sekali kenalan, hanya segelintir teman yang tidak merasa ”sungkan” untuk melakukannya.<br />
<br />
Saya pernah membaca sebuah artikel tentang ”Friendship” yang dikirim oleh seorang teman. Di sana dituliskan, saya bisa memiliki banyak sekali kenalan, saya juga bisa punya banyak relasi yang memiliki interest yang sama. Namun saya hanya akan bisa memiliki sedikit teman dekat.<br />
<br />
Seseorang pernah berkata kepada saya, bahwa dia sangat tertarik dengan fenomena <span style="font-style: italic;">”platonic relationship”</span>, seperti kedekatan Mulder dan Scully dalam serial The X-Files. Saya setuju dengannya, walaupun hanya fiksi, namun itu adalah contoh sebuah persahabatan yang dalam. <span style="font-style: italic;">And you cannot have that kind of relationship with many people.</span><br />
<br />
<span style="font-style: italic;"></span>Kalau mau jujur, berapa banyak sahabat dekat yang kita punya? Orang yang bisa nyaman untuk bicara tentang apapun juga. Orang yang enak untuk diajak ”mengata-ngatai” seluruh dunia. Orang yang tidak pernah sungkan atau berbasa-basi. Orang yang tidak pernah hitung-hitungan siapa yang mentraktir siapa.<br />
<br />
Orang yang melakukan kebaikan kepada kita bukan sebagai balas jasa, tetapi karena memang ingin melakukannya. Orang yang berbuat sesuatu bagi kita bukan untuk membangun <span style="font-style: italic;">image</span>, tetapi semata-mata karena suka untuk mengerjakannya.<br />
<br />
Saya sering bilang kepada teman-teman dekat saya: sahabat adalah orang yang kepadanya kita tidak pernah merasa berhutang; dan orang yang kepadanya kita tidak pernah merasa menghutangi. Saya jadi ingat kata-kata seseorang di Solo: ”Sahabat itu tidak pernah saling menghutangi, mereka saling memberi. Mereka bisa saling meminjam, tetapi mereka tidak pernah berhutang”.<br />
<br />
***<br />
<br />
Dalam artikel ”Friendship” yang saya terima, dituliskan bahwa esensi teman sejati adalah: <span style="font-style: italic;">intimacy</span>. <span style="font-style: italic;">May I suggest another thing?</span> Berdasar pengalaman hidup saya selama ini, fondasi utama dari persahabatan sejati adalah: <u>kepercayaan</u>. <span style="font-style: italic;">Trust</span>. Menurut saya, keintiman tidak akan pernah terbangun tanpa kepercayaan. <span style="font-style: italic;">You will never be intimate with somebody you do not trust!</span><br />
<br />
Ambillah contoh teman saya yang di Blacktown tadi. Saya memang pernah mengatakan kepadanya untuk menghubungi saya kapan saja. Tetapi, dia tidak akan pernah berani untuk mengontak saya pagi-pagi buta atau di tengah malam, kalau dia tidak percaya kepada kata-kata saya. Selama ia memandang bahwa saya hanya berbasa-basi, dia tidak akan pernah menggunakan kesempatan untuk menghubungi saya. Ia berani untuk melakukannya, karena dia percaya bahwa saya tidak akan tersinggung, saya tidak akan terganggu, dan saya tidak akan menolak.<br />
<br />
Saya punya seorang kenalan. Saya sudah mengenalnya selama bertahun-tahun. Dia seorang yang sangat periang, luwes, dan <span style="font-style: italic;">friendly</span>. Manis kata-katanya, berbunga-bunga kalimatnya; pandai memikat dan menyenangkan hati orang lain. Kepada siapapun, dia selalu bilang: ”Si A itu teman dekat saya. Si B itu sahabat baik saya.” <span style="font-style: italic;">But, to tell you the truth</span>, saya tidak yakin bahwa dia punya teman sejati, selain istrinya. <span style="font-style: italic;">I don’t think he has many people that really trust him.</span><br />
<br />
***<br />
<br />
Inilah doa saya. Agar Tuhan membangun saya menjadi orang yang <span style="font-style: italic;">trustworthy</span>. Supaya orang lain mempercayai saya, supaya mereka melihat kesungguhan hati saya. Sehingga mereka berani mengambil resiko untuk memulai persahabatan dengan saya.<br />
<br />
Saya berdoa supaya saya diberi hati yang setia, yang loyal kepada teman-teman yang telah saya miliki. Sehingga persahabatan yang sudah susah-payah terbangun tidak mudah runtuh, dan supaya saya tidak perlu kehilangan teman.<br />
<br />
Saya tahu, pada akhirnya, yang paling berharga adalah jiwa manusia. Sekalipun saya memiliki semua harta di bumi, walaupun saya menggapai semua gelar akademik, seandainya saya menempati semua posisi tertinggi; kalau saya tidak punya sahabat—maka saya adalah orang termiskin dan paling kesepian di dunia.<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">For you that are my true friends: “Thank you. Your friendship has made me a very rich man!”</span>Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1147129447393975462006-05-09T06:00:00.000+07:002011-09-01T19:02:28.733+07:00Lessons From the Beaconfield MineJam 5 pagi. Saya sedang minum kopi panas untuk mengusir rasa kantuk, sambil menonton acara khotbah di televisi. Saya menyukai pembicara yang satu ini. Saya tidak selalu setuju atau menerima pengajarannya, namun saya kagum kepada kemampuannya di dalam berkomunikasi.<span style="font-style: italic;"> He is a very good communicator.</span><br />
<br />
Sementara acara itu berlangsung, beberapa kali terjadi interupsi. Acara itu dipotong untuk menayangkan siaran langsung pembebasan 2 pekerja tambang yang sudah 2 minggu terperangkap di dalam sebuah tambang di Beaconfield, Tasmania.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<span style="font-style: italic;">Do you know how I responded?</span> Mula-mula, biasa saja. Sebagai pengajar ilmu jurnalistik, saya tahu apa itu ”berita” dan apa yang harus dilakukan seorang wartawan: menyiarkannya sesegera mungkin. Namun, setelah interupsi itu berlangsung beberapa kali, dan kemudian acara khotbah itu dihentikan sama sekali; saya mulai merasa jengkel.<br />
<br />
***<br />
<br />
Mengapa saya menjadi jengkel? Satu-satunya alasan kejengkelan saya adalah: saya tidak bisa menonton acara yang saya sukai, gara-gara stasiun tv itu memilih untuk memberitakan usaha pembebasan 2 jiwa manusia yang sudah terperangkap selama 2 minggu di dalam tambang!<br />
<br />
Oh, betapa jahat dan egoisnya hati saya! Saya tidak peduli ada 2 orang yang terjebak selama 14 hari di dalam gelapnya tambang. Saya tidak merasa iba kepada keluarga mereka yang sport jantung selama ini. Saya tidak memandang nasib mereka sebagai sesuatu yang penting. <span style="font-style: italic;">They are not important to me. The most important thing for me is my tv programme and my happiness. Me, my, mine! What a selfish heart I have!</span><br />
<br />
Saya jadi mempertanyakan semua tindakan saya selama ini. Apakah saya benar-benar mengasihi orang lain atau memperhatikan kepentingan mereka? Apakah saya benar-benar melayani mereka? Ataukah, sebenarnya saya melakukannya karena saya memperoleh keuntungan—materi atau emosi? Benarkah hati saya murni tanpa <span style="font-style: italic;">selfish motivation</span> sama sekali?<br />
<br />
***<br />
<br />
Sering kita berkata: ”Orang itu kelihatannya kasar, namun sebenarnya hatinya baik kok.” Atau, ketika kita memberikan alasan bagi sikap dan tindakan kita: ”Maksud dan niat di dalam hatiku baik, kok.” Pada saat itulah kita sedang dikelabuhi mentah-mentah. <span style="font-style: italic;">Because, heart is the worst part of a human being!</span><br />
<br />
Saya teringat kepada Petrus. Di malam penangkapan Tuhan Yesus, ia dan ke-11 rasul yang lain diperingatkan, bahwa malam itu iman mereka akan goyah. Secara khusus, Tuhan Yesus memberitahu Petrus: “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (Lukas 22:31-32).<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">Do you know what Peter said?</span> Petrus dengan bersemangat berkata bahwa, semua orang boleh goyah imannya, namun dia tidak akan meninggalkan Tuhan Yesus, walau sampai harus dipenjara dan mati sekalipun. Tuhan Yesus kemudian menubuatkan bahwa sebelum ayam berkokok, Petrus akan menyangkal-Nya 3 kali. Sekali lagi, Petrus menolak mentah-mentah prediksi itu. <span style="font-style: italic;">“I will not betray You!”</span> katanya.<br />
<br />
Dan kita tahu apa yang kemudian terjadi. Sebelum ayam jantan berkokok, Petrus menyangkali Tuhan Yesus 3 kali. Bahkan, pada penyangkalannya yang terakhir, Petrus sampai bersumpah-sumpah bahwa ia tidak mengenal Tuhan Yesus. Orang yang beberapa jam lalu berkata siap mati untuk Tuhan, sekarang mati-matian menyangkal Tuhan di depan seorang hamba perempuan!<br />
<br />
***<br />
<br />
Banyak orang mengatakan bahwa persoalan Petrus adalah persoalan: ketidaktulusan (<span style="font-style: italic;">insincerity</span>). Tetapi, saya pikir bukan itu masalahnya. Saya yakin, Petrus sangat tulus dan bersungguh-sungguh ketika mengatakannya. <span style="font-style: italic;">He really meant it</span>. Tidak ada niat untuk membohongi Tuhan Yesus. Tidak ada rencana untuk mengkhianati Tuhan Yesus.<br />
<br />
Saya pikir, persoalan Petrus adalah: ketidaktahuan (<span style="font-style: italic;">ignorance</span>). Ia tidak tahu seperti apa hatinya. <span style="font-style: italic;">He did not know what he was capable of</span>. Ia tidak tahu seberapa parah sebenarnya dia bisa jatuh. Dia merasa kuat, dia merasa tidak akan bisa melakukan suatu kesalahan tertentu.<br />
<br />
Bukankah itu yang juga sering kita pikirkan? Kita sadar bahwa kita memiliki beberapa kelemahan, dan kita mengakui kelemahan-kelemahan itu. Kita selalu berusaha untuk berhati-hati dan berawas-awas di bidang-bidang itu. Namun, ada beberapa bidang yang lain di mana kita merasa kuat dan ”aman”, sehingga bisa berkata: ”Saya nggak seperti itu, kok.”<br />
<br />
Kalau saya boleh berterus terang, saya berani memastikan bahwa di antara ke-10 Hukum Taurat, ada 4 hukum yang kita semua yakin bahwa kita tidak akan melakukannya: memiliki allah yang lain, membuat dan menyembah berhala, membunuh, dan berzina. Saya pikir, sebagian terbesar dari kita berani untuk mengatakan: “Saya tidak akan melakukan dosa-dosa itu.”<br />
<br />
Keyakinan seperti itu sangat ”legitimate” dan meyakinkan. Kita tidak sedang berpura-pura; kita tulus dan bersungguh-sungguh ketika mengatakannya. Karena mungkin selama ini kita tidak melakukan dosa-dosa itu. Namun, apakah kita bisa menjamin bahwa kita tidak akan pernah melakukannya? Seorang teman pernah berkata: <span style="font-style: italic;">”Never say never!”</span><br />
<blockquote style="font-family: verdana;">
<span style="font-size: 85%;">Hati manusia tak dapat diduga, paling licik dari segala-galanya dan terlalu parah penyakitnya (Yeremia 17:9).</span></blockquote>
***<br />
<br />
Sekarang jam 6.18. Saya menuliskan kalimat ini tepat ketika kedua pekerja tambang itu keluar dari mulut tambang, berpelukan dengan keluarganya, dan kemudian dibawa ke rumah sakit. Setelah saya mengakui ke-egoisan saya, saya jadi bisa menonton siaran langsung pembebasan itu. Saya tidak lagi merasa jengkel. Toh, besok pagi saya masih bisa menonton acara khotbah itu; tetapi siaran langsung ini tidak akan terjadi lagi.<br />
<br />
Pagi ini, saya ditegur dalam hal ke-egoisan hati saya. Nanti siang, nanti malam, atau besok pagi, saya tidak tahu teguran apa lagi yang akan saya dengar. <span style="font-style: italic;">And that’s good for me</span>. Itu menunjukkan bahwa Tuhan <span style="font-style: italic;">care </span>kepada saya, itu membuktikan bahwa Ia menganggap saya sebagai anakNya. Ia ingin agar saya tidak merasa kuat dan “aman”, tetapi terus-menerus waspada dengan potensi kejahatan di dalam hati saya.<br />
<blockquote style="font-family: verdana;">
<span style="font-size: 85%;">Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh! (1 Korintus 10:12)</span></blockquote>
Setelah menulis tentang Allah yang Mahatahu dalam Mazmur 139, Daud menutup renungannya dengan doa ini: ”Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (ayat 23-24).<span style="font-style: italic;"> I think, I will make David’s petition my daily prayer</span>.Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1147129090897056982006-05-09T05:57:00.001+07:002011-09-04T08:28:25.376+07:00The Painful Song aka Psalm 42Betapa hatiku kosong dan kering. Batinku menjerit kepada Tuhan. Aku ingin bertemu Tuhan, aku ingin mengalami jamahan tanganNya yang memberi kehidupan. Namun, aku tidak bisa mengalaminya. Mengapa aku tidak bisa mendapat kelepasan? Kapan aku boleh datang lagi kepadaNya?<br />
<br />
Siang dan malam aku menangis. Air mata kesedihan dan kepahitan sepanjang hari. Rasa-rasanya tidak ada yang baik yang datang di dalam hidupku. Hanya duka dan sakit hati yang kualami.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Dan orang-orang di sekelilingku sama sekali tidak membantu. Justru mereka merendahkan dan mengejekku: "Di mana Allahmu? Di mana Tuhan yang kau bangga-banggakan itu? Mana bukti kehidupan Kristen yang sering kauceritakan itu? Kau tidak ada bedanya dengan orang lain. Hidup berimanmu ternyata hanya omong kosong!"<br />
<br />
Di dalam kesedihanku, aku teringat kepada "prestasi" pelayananku. Aku teringat bagaimana aku membagikan Firman Tuhan; aku terkenang kepada orang-orang yang kubawa kepada Tuhan. Aku ingat ketika aku memimpin pujian dan penyembahan di Rumah Tuhan; dan semua kepanitiaan dan kepengurusan yang pernah kutangani.<br />
<br />
Tapi semuanya itu ada di masa lalu. Kenangan akan pelayanan dan kegiatan rohaniku tidak membuat kesedihanku berkurang. Tidak mengobati sakit hatiku. Justru membuatku semakin tertekan dan merasa tidak layak.<br />
<br />
***<br />
<br />
Aku bertanya kepada diriku sendiri: "Mengapa kau harus sedih? Mengapa kau merasa sesak dan sakit hati? Mengapa kau kehilangan semangat hidup dan ingin mati saja?" Aku mencoba menguatkan hatiku sendiri: "Ayolah. Taruhlah harapanmu kepada Tuhan. Cobalah untuk memuji Dia dan bersyukur kepadaNya, apapun keadaanmu."<br />
<br />
Aku tahu, hatiku sedang terluka. Aku sadar sepenuhnya. Aku tidak berpura-pura bahwa aku sedang baik-baik saja. Aku tidak menyangkal kepahitanku. Justru karena itu, aku akan melakukan hal-hal ini.<br />
<br />
Sekarang aku mau mengingat Tuhan, yang sudah memberikan kepadaku segala sesuatu yang bisa kunikmati. Hangatnya matahari, segarnya udara. Anak-anakku, harta warisanku. Orang-orang yang mengasihiku dan mendoakan aku. Makanan dan minumanku setiap hari. Pekerjaan dan karier yang kujalani. Di pagi hari, Tuhan mencurahkan kasih sayangNya kepadaku. Di malam hari, Ia memberikan nyanyian di dalam hatiku.<br />
<br />
Sekarang, aku mau berkata kepada Tuhanku: "Mengapa Engkau membiarkan aku sendirian? Mengapa Engkau mengijinkan aku disakiti? Mengapa Engkau tidak membalas orang-orang yang menekan dan mengolok-olok aku?"<br />
<br />
Sekarang aku mencurahkan duka dan kemarahanku kepadaNya: "Lihatlah, betapa tubuhku menjadi sakit karena kesedihanku. Lihatlah aku tidak bisa makan, aku tidak bisa minum, aku tidak bisa tidur. Lihatlah betapa aku menjadi lesu. Aku kehilangan semangat hidup, rasanya aku ingin mati saja."<br />
<br />
***<br />
<br />
Aku berusaha menyemangati diriku sendiri: "Hai. Mengapa engkau harus bersedih? Mengapa engkau sangat tertekan? Ayolah. Datang kepada Tuhan, bawa semua bebanMu kepadaNya. Kau tahu, di dalam Dia selalu ada harapan. Kau tahu, bagi Dia tidak ada yang mustahil."<br />
<br />
"Mulailah untuk memuji Dia, walau berat mulutmu. Cobalah untuk bersyukur kepadaNya, walau gelap matamu. Sebab Dia, hanya Dia yang bisa menolongmu. Sebab Dialah Penyelamatmu, Dialah Tuhanmu"<br />
<br />
_______________<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">Tulisan ini adalah saduran dari sebuah nyanyian yang ditulis oleh Raja Daud. Silakan membaca Mazmur 42 untuk melihat naskah aslinya. Menuliskan kembali ayat-ayat itu dengan kata-kata saya sendiri menolong saya untuk lebih mengerti maknanya, lebih related dengan keadaan saya.</span><br />
<br />
One thing I know: problem and stress are real.<span style="font-style: italic;"> Ketika itu saya alami, saya tidak bisa mengabaikannya; saya tidak bisa berpura-pura bahwa saya baik-baik saja. Saya belajar dari Raja Daud, untuk jujur mengakui bahwa saya memang sedang bermasalah--dan kemudian menyerahkan diri kepada Tuhan supaya Ia mengobati saya.</span>Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1147128515441460092006-05-09T05:40:00.001+07:002011-09-04T08:35:53.909+07:00Bayi, ASI, dan Hidup RohaniMinggu lalu, saya punya kesempatan untuk menggendong bayi. Ini yang pertama sejak terakhir kali menggendong Abdi 2 tahun yang lalu. <span style="font-style: italic;">What a wonderful feeling!</span> Saya sangat menyukai pengalaman itu. Tubuh mungil terbungkus berlapis-lapis kain penghangat; aroma harum minyak bayi; wajah yang jernih tenang tanpa beban persoalan. Walah ... saya jadi pengin punya bayi lagi.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Beberapa menit saya gendong, si bayi mulai gelisah. Merengek dan hampir menangis. Sang ibu langsung tahu apa yang harus dilakukan. Ia menyiapkan sebotol susu dan menyerahkannya kepada saya. Dan, betapa bersemangatnya si bayi untuk meminum susu itu! Cepat sekali ia menghabiskannya. Begitu habis, botol saya lepaskan; dia menjadi tenang kembali—tidur lelap dalam gendongan saya.<br />
<br />
Seorang ibu dan ayah akan sangat senang melihat bayinya begitu antusias untuk mengkonsumsi susu. Karena mereka tahu, bahwa air susu itu vital bagi kehidupan, kesehatan, dan pertumbuhan bayinya. Mereka akan sangat cemas dan mungkin menjadi panik, apabila bayinya menolak untuk minum air susu itu. Mereka akan berpikir: <span style="font-style: italic;">"What's wrong with my baby?"<br />
<br />
***<br />
</span><br />
<blockquote style="font-family: verdana;"><span style="font-size: 85%;">Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh dan beroleh keselamatan. (1 Petrus 2:2)</span></blockquote>Anehnya, kita jarang atau tidak pernah panik apabila ada seorang Kristen (termasuk diri kita sendiri) yang tidak menunjukkan kehausan seperti bayi terhadap Firman Tuhan. Kita tidak cemas dan tetap merasa normal-normal saja, walaupun mungkin sudah berhari-hari (atau malah berminggu-minggu) sama sekali tidak mendapatkan air susu yang murni dan rohani itu! Padahal, seharusnya kita berkata: <span style="font-style: italic;">"What's wrong with me?"</span><br />
<br />
Saya percaya, bahwa salah satu tanda seseorang itu sudah sungguh-sungguh memiliki kehidupan baru di dalam Kristus adalah: <u>kehausannya akan Firman Tuhan</u>. Dalam pelayanan kami di Solo, kami akan mengamati dengan cermat kehidupan orang selama 3-6 bulan pertama sejak dia mengaku percaya.<br />
<br />
Apabila di dalam jangka waktu itu ia tidak menunjukkan tanda-tanda yang jelas bahwa ia haus akan Firman Tuhan; kami akan mulai "meragukan" pertobatannya: apakah dia sungguh-sungguh sudah percaya kepada TuhanYesus? Kalau dia sungguh-sungguh sudah percaya, mengapa dia tidak memunculkan tanda-tanda kehidupan barunya?<br />
<br />
***<br />
<br />
Bulan lalu, saya diberitahu Rut, istri saya, bahwa Abdi sudah tidak lagi minum ASI. Itu berarti dia butuh waktu lebih panjang dari rata-rata anak. Katanya, seorang anak biasanya butuh waktu sekitar 2 tahun sebelum bisa disapih. Wening lebih cepat disapih; dia sudah menolak untuk diberi ASI ketika berumur 15 bulan.<br />
<br />
Mengetahui bahwa Abdi sudah tidak lagi butuh ASI tidak membuat kami panik atau cemas. Justru kami bersyukur. Sebab memang sudah saatnya dia berhenti tergantung kepada ASI, dan mulai mengkonsumsi jenis makanan yang lain. Itu menunjukkan bahwa dia bertumbuh dan berkembang. Itu berarti dia tidak punya kelainan. <span style="font-style: italic;">It proves that he is on the right track in his growing process as a normal human being.</span><br />
<br />
Ketika memikirkan proses pertumbuhan anak-anak saya di dalam hal makan, saya melihat ada tahap-tahap yang mereka lalui.<br />
<br />
Ketika baru lahir, seorang bayi tergantung penuh kepada ibunya. Ibunya yang makan, dan dari makanan yang dikonsumsi itu, tubuh sang ibu akan memproduksi ASI, yang kemudian diminum oleh si bayi.<br />
<br />
Setelah mulai tumbuh, ASI tidak lagi menjadi satu-satunya sumber makanan si anak. Ibunya akan menyiapkan susu formula, biskuit bayi, bubur, dan kemudian nasi tim. Si anak tidak perlu pusing, dia akan disuapi pada jam-jam tertentu. Masih ada ketergantungan yang sangat kuat kepada ibunya.<br />
<br />
Saat si anak semakin besar, ia akan meninggalkan semua jenis makanan bayi. Ibunya masih memasak, menentukan menu, dan menentukan jadwal makan. Namun, sekarang si anak mulai belajar untuk makan sendiri—tanpa disuapi. Wening, yang berusia 6 tahun, sudah makan sendiri. Walaupun ketika sedang "kumat" manjanya, dia masih minta disuapi. Bapaknya Wening juga begitu kok; kalau sedang kumat juga kadang masih minta disuapi.<br />
<br />
Tahap berikutnya, biasanya ketika anak berusia SMP ke atas. Ibunya sudah "tidak perlu berpikir" tentang kebiasaan makannya. Ada makanan di rumah, silakan ambil sendiri. Bosan dengan menu di rumah, silakan jajan ke warung. Tidak cocok dengan masakan ibu dan malas pergi ke luar, silakan masak nasi goreng atau menggoreng telor sendiri.<br />
<br />
Seseorang mencapai kedewasaan penuh (dalam hal makan), ketika dia sudah sama sekali tidak tergantung kepada orangtuanya. Dia sudah bekerja sehingga punya uang sendiri untuk membeli makanan. Dia bisa menentukan menu sendiri. Dia tahu apa yang dia inginkan dan dia butuhkan. Dan kalau dia sudah punya anak, dia sekarang bisa memberi makan kepada anak-anaknya.<br />
<br />
***<br />
<span style="font-family: verdana; font-size: 85%;"></span><br />
<blockquote><span style="font-family: verdana; font-size: 85%;">Tentang hal itu banyak yang harus kami katakan, tetapi yang sukar untuk dijelaskan, karena kamu telah lamban dalam hal mendengarkan. Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. (Ibrani 5:11-13)</span></blockquote>Berapa lama kita sudah mengenal Tuhan Yesus? Berapa tahun kita sudah menjadi seorang Kristen? Ditinjau dari sudut waktu, sampai di mana seharusnya tingkat kedewasaan kita di dalam Firman Tuhan? <span style="font-style: italic;">How is our progress report in the Word of God</span>?<br />
<br />
Adakah teman-teman yang merasa dihakimi oleh tulisan ini? <span style="font-style: italic;">That's good!</span> Saya sendiri tertantang untuk mengevaluasi hidup saya. Saya tahu betul, hidup Firman saya tidak sepadan dengan usia rohani saya. Saya masih sangat malas dan tidak disiplin untuk teratur dalam mendengar, membaca, menyelidiki (<span style="font-style: italic;">study</span>), menghafalkan dan merenungkan Firman Tuhan.<br />
<blockquote style="font-family: verdana;"><span style="font-size: 85%;">Do your best to present yourself toGod as one approved, a workman who does not need to be ashamed and whocorrectly handles the word of truth. (2 Timotius 2:15 – NIV)</span></blockquote>Firman Tuhan adalah pedang Roh (Efesus 6:17). Kalau saya tidak setia untuk menggenggamnya dan berlatih setiap hari; saya tidak bisa menguasai cara yang benar untuk menggunakannya. Saya tidak akan terampil untuk memakainya. Dan kalau saya tidak terampil, bagaimana saya bisa menang di dalam peperangan rohani melawan dosa dan Iblis?<br />
<blockquote style="font-family: verdana;"><span style="font-size: 85%;">Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan (judges – NIV) pertimbangan dan pikiran hati kita. (Ibrani 4:12)<br />
</span></blockquote>Tanpa Firman Tuhan, saya akan sangat mudah disesatkan dan dikelabuhi oleh pikiran saya sendiri (maupun orang lain). Saya bisa sudah merasa saleh dan suci. Saya bisa merasa bahwa pertimbangan dan sikap sayalah yang paling benar. Namun, kalau saya setia belajar Firman Tuhan; Firman itu yang akan menghakimi dan menilai apakah pikiran, sikap hati, dan perilaku saya sudah sesuai dengan tata nilai Allah.<br />
<br />
***<br />
<br />
Saya berdoa agar hati saya terus-menerus memiliki kehausan yang tak pernah terpuaskan terhadap Firman Tuhan. Saya berdoa agar saya memiliki disiplin dan kesetiaan untuk berhubungan dengan Firman Tuhan. Saya berdoa, agar persekutuan dengan Firman yang hidup itu semakin mengubah cara berpikir, sikap, dan perilaku saya.Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1146714468618053032006-05-04T10:44:00.001+07:002011-09-04T08:37:27.969+07:0016 Tahun Gaji<span style="font-style: italic;">May I ask you a very personal question?</span> Berapa penghasilan Anda selama setahun? Sebagai seorang abdi negara Republik Indonesia golongan III/a, gaji saya sudah menjadi rahasia umum: sekitar 1,5 juta perbulan. Kalau saya kalikan 12, maka penghasilan saya mencapai 18 juta per tahun. Ternyata, diam-diam saya ini seorang jutawan, he...he...he...!<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Oke, Anda pasti sudah bisa menghitung berapa penghasilan yang Anda peroleh selama setahun. <span style="font-style: italic;">Let me ask you another personal question. </span>Seandainya suatu hari ada orang yang memberi uang kepada Anda sejumlah 16 tahun gaji, apa yang akan Anda lakukan dengan uang itu? Kalau memakai gaji saya sebagai contoh, maka itu berarti uang sebesar 288 juta!<br />
<br />
Mari kita berkhayal sebentar. <span style="font-style: italic;">What will you do with that kind of money?</span> Kalau Anda bingung atau terlalu malas untuk berpikir tentang penggunaan uang itu, pasti inilah yang akan teman-teman lakukan: memasukkannya ke dalam deposito, supaya uang itu bisa berkembang.<br />
<br />
Apapun yang Anda khayalkan, saya yakin, tidak ada satupun di antara kita yang akan membungkus uang itu dan menyimpannya di bawah bantal atau memendamnya di dalam tanah.<br />
<br />
***<br />
<br />
Matius 25:14-30 menceritakan perumpamaan tentang talenta. Seorang tuan memberikan modal kepada ketiga hambanya: ada yang diberi 5 talenta, 2 talenta, dan 1 talenta. Ah, kita sudah hafal jalan ceritanya. Kalau belum tahu, silakan ambil Alkitab dan baca sendiri ayatnya.<br />
<br />
Selama ini, setiap kali membaca perumpamaan ini, di dalam hati kecil saya sebenarnya ada rasa kasihan kepada hamba yang diberi 1 talenta. Selama ini, saya berpikir bahwa persoalan yang dihadapi oleh hamba ini adalah persoalan rendah diri atau minder. Karena ia sadar bahwa hanya punya 1 talenta, maka ia merasa bahwa itu tidak cukup untuk bisa dipakai sebagai modal usaha.<br />
<br />
Dan saya bisa memahami perasaan hamba itu. Saya sering mendengar orang berkata: "Wah, modal cuma segitu, mau sampai ke mana penggunaannya?" Saya bertemu dengan banyak orang yang sadar bahwa dirinya tidak punya banyak kelebihan, maka ia merasa minder dan itu membuatnya tidak berani untuk melakukan apa-apa.<br />
<br />
Oh, saya bisa memahami dan bersimpati dengan perasaan itu; sebab saya pun seringkali mengalaminya. Tidak punya<span style="font-style: italic;"> self-confidence</span>, karena merasa kurang punya kemampuan dibandingkan orang lain.<br />
<br />
***<br />
<br />
Namun, hari ini pandangan saya berubah sama sekali! Sekarang, saya tidak lagi merasa kasihan atau bersimpati kepada hamba yang diberi 1 talenta itu! Sekarang saya jadi memahami, mengapa sang tuan sangat marah kepadanya. <span style="font-style: italic;">Why? I'll tell you why</span>.<br />
<br />
Pagi ini, saya membaca bahwa talenta adalah satuan mata uang yang dipakai pada jaman Tuhan Yesus: 1 talenta sama dengan 60 mina, dan 1 mina sama dengan 100 dinar. Jadi, 1 talenta itu ekwivalen dengan 6000 dinar. Padahal, 1 dinar adalah upah 1 hari kerja seorang buruh. Kesimpulannya, menerima 1 talenta sebenarnya menerima uang sebesar gaji untuk 6000 hari kerja. Dan karena 1 tahun itu ada 365 hari, maka 1 talenta itu sama dengan 16 tahun gaji!<br />
<br />
Sekarang saya bisa mengerti mengapa sang tuan sangat marah. Karena memang hamba ini keterlaluan sekali! Sudah diberi modal sebesar 16 tahun gaji, tetapi malah dipendam di dalam tanah!<br />
<br />
Persoalan hamba itu bukanlah persoalan kompleks rendah diri, melainkan kemalasan! <span style="font-style: italic;">He was just too lazy to do anything for his master.</span> Begitu malasnya dia, sampai-sampai dia tidak mau untuk memasukkan modal itu ke dalam bank supaya berkembang!<br />
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-family: verdana;"></span></span><br />
<blockquote><span style="font-size: 85%;"><span style="font-family: verdana;">Maka jawab tuannya itu: Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam? Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang (<span style="font-style: italic;">bankers</span>-NIV), supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya (Matius 25:26-27).</span></span></blockquote>***<br />
<br />
Saya tahu sekarang, bahwa selama ini saya salah. Mata saya begitu buta terhadap apa yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Saya tidak sadar, bahwa yang 1 talenta itu pun sebenarnya besar sekali nilainya.<br />
<br />
Sekarang, setelah saya tahu bahwa sebenarnya banyak sekali yang telah diberikan Tuhan kepada saya; apa yang akan saya lakukan? Apakah saya masih tega untuk memendamnya di dalam tanah?<br />
<br />
Kalau iya, maka memang saya ini malas luar biasa. Tidak hanya malas, namun hati saya ini jahat dan sama sekali tidak tahu berterima kasih; karena saya benar-benar tidak mau untuk melakukan apapun juga bagi Tuhan; padahal Ia sudah memberi begitu banyak hal kepada saya.Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1146626068573361152006-05-03T10:11:00.001+07:002011-09-04T08:42:41.482+07:00The Distressed GodPada malam sebelum Ia ditangkap, Tuhan Yesus, untuk pertama kali di dalam hidupNya, merasakan tekanan yang luar biasa. Kesedihan dan ketakutan yang belum pernah Ia alami. Sampai-sampai Ia berkata kepada ketiga muridNya: "<span style="font-style: italic;">Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya</span>" (Markus 14:34).<br />
<br />
Dan begitu besar tekanan batin yang dialamiNya, sehingga Ia meminta agar Petrus, Yohanes, dan Yakobus menemani Dia untuk berdoa. Anak Allah, yang tidak pernah membutuhkan dukungan moril dari siapapun; Anak Allah yang tidak pernah takut menghadapi apapun; malam itu, Ia minta untuk ditemani!<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Ia tidak minta ditolong, Ia tidak minta dibantu. Ia juga tidak minta untuk didoakan. Ia tahu pasti, bahwa murid-murid itu tidak berdaya apa-apa untuk membantu; sebab tantangan yang sedang dihadapiNya malam itu tidak bisa ditanggung oleh siapapun juga, kecuali DiriNya sendiri. <span style="font-style: italic;">But nevertheless</span>, Ia minta agar murid-muridnya berjaga, untuk tidak tidur, untuk menemaniNya.<br />
<br />
Saya ingat, ketika masih kecil, sebelum saya mengenal Kristus, saya sering terbangun di tengah malam dan tidak bisa tidur lagi--saya merasa takut. Semua suara yang terdengar sepertinya merupakan ancaman bagi saya. Saya seperti mendengar langkah kaki orang di luar, atau suara orang yang berusaha membuka pintu. Sekarang saya tahu, bahwa semuanya hanya ada di dalam imajinasi saya sendiri, namun saat itu saya benar-benar ketakutan.<br />
<br />
Dan kalau saya sudah tidak tahan, biasanya saya akan mencari ibu saya. Waktu itu, bapak masih studi di Inggris. Saya akan pindah untuk tidur di dekat ibu saya. Dan ketika ibu saya sudah merangkul saya, saat itu juga ketakutan saya reda; dan hati saya menjadi tenang kembali, sehingga saya bisa terlelap.<br />
<br />
Padahal, kalau benar-benar ada orang jahat yang masuk ke rumah, apa sih yang bisa dilakukan oleh ibu saya? Apakah ibu saya akan bisa melindungi kami semua? Saya pikir, ibu saya juga tidak akan berdaya. Tetapi, kehadirannya sudah cukup untuk menenangkan saya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Kita tahu, bahwa seringkali, kita harus menghadapi persoalan besar di dalam hidup kita. Dan kita sadar, bahwa hanya kita sendiri yang harus menanggungnya. Namun, kita tahu juga, bahwa kalau ada orang yang mau menemani kita--cukup menemani saja, maka kita merasa mendapat sedikit keringanan. Kita merasa tidak sendirian.<br />
<br />
Tetapi, betapa sedihnya kita apabila ketika kita merasa tertekan, tidak ada satu orang pun yang menemani kita. Dan itulah yang dialami Tuhan Yesus. Pada saat Ia ketakutan dan bergumul berat, murid-muridNya justru tertidur lelap. Tuhan Yesus sampai harus 3 kali membangunkan mereka.<br />
<br />
Pernahkah kita mengalaminya? Sementara kita sedang dalam persoalan yang sangat berat, sementara kita sedang bergumul hebat, sementara kita sedang gelisah sampai tidak bisa tidur semalam-malaman; orang yang paling dekat dengan kita justru bisa tidur dengan lelap.<br />
<br />
Kita tahu, bahwa mungkin dia juga tidak mampu menyelesaikan masalah kita; namun, melihatnya lelap atau malah sampai mendengkur, sementara hati kita begitu sesak--wah, betapa sedihnya. Kita merasa ditinggalkan, kita merasa sendirian.<br />
<br />
Kalau kita pernah mengalaminya, janganlah kecil hati. Sebab Tuhan Yesus pun pernah mengalaminya! Dan karena Ia telah mengalaminya, dan mampu menang atas kondisi itu; Ia juga akan memampukan kita untuk menanggungnya. "Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai" (Ibrani 2:18).<br />
<br />
***<br />
<br />
Malam ini, saya sedang tertekan, sampai dada saya begitu sesak. Mungkin belum sampai seperti mau mati rasanya, tapi betapa riilnya kesesakan itu! Saya tidak bisa melupakannya, saya tidak bisa menghibur diri dengan menonton TV, atau main <span style="font-style: italic;">sudoku</span>, atau membaca. <span style="font-style: italic;">I know, I have to deal with it. And fast!</span> Sebab kalau tidak, kesesakan itu hanya akan membuat pikiran saya kalut--dan saya akan menjadi <span style="font-style: italic;">useless </span>bagi orang lain.<br />
<br />
Saya tiba-tiba diingatkan kepada satu ayat yang pernah saya baca, namun celakanya, saya lupa di mana tempatnya dalam Alkitab. Maka, saya memutuskan untuk pergi ke kampus, <span style="font-style: italic;">connect </span>ke Internet, dan mencari ayat itu memakai <span style="font-style: italic;">search engine</span> yang ada di <a href="http://www.gospelcom.net/">www.gospelcom.net</a>. Inilah ayat yang saya cari itu:<br />
<blockquote style="font-family: verdana; font-family: verdana;"><span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;">In all their distress He too was distressed</span>, and the angel of His presence saved them. In His love and mercy He redeemed them; He lifted them up and carried them all the days of old. (Yesaya 63:9 NIV)</span></blockquote>Oh, saya tahu, Dia Mahakuasa, dan kekuatanNya sangat cukup untuk menolong saya mengatasi apapun masalah saya. Saya juga tahu, bahwa Ia sangat mengasihi saya. Ia memperhatikan saya dan sangat concern kepada saya. Saya yakin bahwa Ia tidak akan membiarkan saya sendirian.<br />
<br />
Tetapi, sekalipun begitu, sulit sekali bagi saya untuk percaya bahwa Tuhan itu bisa ber-empati (bisa turut merasakan) apa yang sedang saya rasakan. Masakan Tuhan itu bisa merasakan kesedihan saya? Bagaimana mungkin, Allah yang Mahakuasa itu bisa sungguh-sungguh mengerti kebingungan atau kekalutan saya?<br />
<br />
Saya selalu membayangkan Allah sebagai Pribadi yang kuat, yang tenang, yang selalu <span style="font-style: italic;">in contro</span>l, yang selalu <span style="font-style: italic;">cool</span>. Seperti seorang konselor yang duduk di hadapan saya, dengan sabar mendengarkan setiap keluhan saya, dan kemudian memberikan jalan keluar terbaik bagi persoalan saya; namun yang tidak mengalami apa yang saya alami! Seperti seorang dokter yang ahli dan baik hati, yang berusaha untuk menyembuhkan penyakit saya; namun yang sama sekali tidak merasakan kesakitan seperti yang ada di dalam tubuh saya.<br />
<br />
Namun, Yesaya 63:9 itu benar-benar membuka mata saya kepada satu dimensi tentang Allah yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Oh, saya tahu, bahwa ketika Allah itu menjadi Manusia Yesus, Ia merasakan semua penderitaan yang mungkin dialami oleh manusia. Namun, ayat itu tidak bicara tentang Tuhan Yesus ketika hidup di bumi ini, melainkan Allah Israel, Allah Mahakuasa yang dikenal di dalam Perjanjian Lama!<br />
<br />
Ternyata, ketika umatnya sedang mengalami tekanan, Allah juga ikut merasa tertekan! <span style="font-style: italic;">In all their distress He too was distressed!</span> Ia tidak hanya melihat penderitaan umatNya dari kejauhan, sambil menunggu waktu yang tepat untukmengulurkan pertolongan. Ia tidak hanya duduk di atas takhtaNya dengan "dingin" dan tanpa emosi; namun hatiNya, perasaanNya, turut "terganggu" (saya menuliskan ini dengan penuh rasa hormat kepada Tuhan) ketika melihat umatNya ada di dalam pergumulan.<br />
<br />
Ternyata, baik Allah yang dikenal dalam Perjanjian Lama, maupun Allah yang menjadi Manusia Sejati; benar-benar ber-empati, sungguh-sungguh merasakan apa yang saya rasakan. Ia tahu apa artinya ditolak, Ia mengerti rasanya dikhianati. Ia lapar, Ia lelah, Ia berduka, Ia menangis. Ia mengaduh ketika punggungNya dicambuk; Ia mengerang ketika tanganNya dipaku! Ia berdarah-darah ketika dipasangi makhota duri! Ia mengalami semua penderitaan, bahkan hal-hal yang mungkin tidak akan pernah saya derita.<br />
<br />
***<br />
<br />
Saya tahu sekarang. Ketika saya tidak bisa tidur semalam suntuk karena kesesakan hati saya, Tuhan berjaga bersama saya. Ketika saya begitu marah dan kecewa, Ia tahu betul bagaimana rasanya. Ketika saya bersedih sampai kehabisan air mata, Ia merangkul saya, dengan sekotak tisu di tanganNya. Ketika saya merasa sendirian dan kesepian, Ia berkata: "<span style="font-style: italic;">I am still here</span>".Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1146625403528898442006-05-03T10:02:00.001+07:002011-09-08T16:34:47.997+07:00Puisi KasihMinggu ini saya punya kesempatan mendengarkan rekaman khotbah dari seorang hamba Tuhan yang luar biasa. Namanya J Oswald Sanders. Dia seorang missionaris dari <span style="font-style: italic;">OMF (Overseas Missionary Fellowship)</span> . Ia pengarang buku <span style="font-style: italic;">Spiritual Leadership</span>, sebuah buku yang menjadi salah satu bacaan "wajib" di dunia Kristen.<br />
<br />
Dalam khotbah yang saya dengarkan, Oswald Sanders berbicara mengenai "Puisi Kasih" yang ditulis oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 13:4-7. Dia menyarankan agar kita membacanya dengan 4 cara sebagai berikut:<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<u>1. Baca apa adanya</u><br />
<br />
Kasih itu sabar<br />
Kasih itu murah hati<br />
Ia tidak cemburu<br />
Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong<br />
Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri<br />
Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain<br />
Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran<br />
Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.<br />
<br />
<u>2. Ganti kata "kasih" dengan kata "Kristus"</u><br />
<br />
Kristus itu sabar<br />
Kristus itu murah hati<br />
Kristus tidak cemburu<br />
Kristus tidak memegahkan diri dan tidak sombong<br />
Kristus tidak melakukan yang tidak sopan<br />
Kristus tidak mencari keuntungan diri sendiri<br />
Kristus tidak pemarah<br />
Kristus tidak menyimpan kesalahan orang lain<br />
Kristus tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran<br />
Kristus menutupi segala sesuatu<br />
Kristus percaya segala sesuatu<br />
Kristus mengharapkan segala sesuatu<br />
Kristus sabar menanggung segala sesuatu<br />
<br />
Ketika saya membacanya dengan cara seperti ini, saya benar-benar jadi melihat: bahwa benar, Kristus telah melakukan kasih itu dengan sempurna. Semua ciri-ciri kasih itu jelas sekali nyata di dalam kehidupan Kristus. Puisi ini menjadi sebuah pujian bagi Kristus.<br />
<br />
<u>3. Ganti kata "kasih" dengan kata "saya"</u><br />
<br />
Saya itu sabar<br />
Saya itu murah hati<br />
Saya tidak cemburu<br />
Saya tidak memegahkan diri dan tidak sombong<br />
Saya tidak melakukan yang tidak sopan<br />
Saya tidak mencari keuntungan diri sendiri<br />
Saya tidak pemarah<br />
Saya tidak menyimpan kesalahan orang lain<br />
Saya tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran<br />
Saya menutupi segala sesuatu<br />
Saya percaya segala sesuatu<br />
Saya mengharapkan segala sesuatu<br />
Saya sabar menanggung segala sesuatu<br />
<br />
Ketika saya mencoba membacanya dengan cara ini, hati saya langsung "<span style="font-style: italic;">down</span>". <span style="font-style: italic;">Depressed!</span> Saya tidak mampu membacanya. Karena saya tahu, saya sama sekali tidak seperti itu. Saya sadar, betapa saya tidak menampakkan kasih itu di dalam hidup saya. Padahal, Tuhan Yesus mengatakan:<br />
<blockquote style="font-family: verdana;"><span style="font-size: 85%;">Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi. (<span style="font-style: italic;">Yohanes 13;34-35</span>)</span></blockquote>Waduh, mendadak saya merasa malu sekali. Ternyata "kasih" yang selama ini saya praktekkan, sama sekali belum memenuhi tuntutan Tuhan Yesus. Padahal, saya sudah merasa sangat hebat dalam mengasihi orang lain. Pantas saja, tidak banyak orang yang bisa melihat hidup saya sebagai murid Kristus, karena saya sudah gagal untuk mengasihi seperti yang Kristus kehendaki.<br />
<br />
Puisi Kasih itu sekarang menjadi doa pengakuan dosa saya: pengakuan bahwa saya belum memenuhi standar Tuhan. Pengakuan bahwa selama ini saya sudah begitu buta, karena merasa telah berhasil mengasihi orang lain. Padahal, sebenarnya nol besar!<br />
<br />
<u>4. Ganti kata "kasih" dengan "Kristus yang di dalam saya"</u><br />
<br />
Kristus yang di dalam saya itu sabar<br />
Kristus yang di dalam saya itu murah hati<br />
Kristus yang di dalam saya tidak cemburu<br />
Kristus yang di dalam saya tidak memegahkan diri dan tidak sombong<br />
Kristus yang di dalam saya tidak melakukan yang tidak sopan<br />
Kristus yang di dalam saya tidak mencari keuntungan diri sendiri<br />
Kristus yang di dalam saya tidak pemarah<br />
Kristus yang di dalam saya tidak menyimpan kesalahan orang lain<br />
Kristus yang di dalam saya tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran<br />
Kristus yang di dalam saya menutupi segala sesuatu<br />
Kristus yang di dalam saya percaya segala sesuatu<br />
Kristus yang di dalam saya mengharapkan segala sesuatu<br />
Kristus yang di dalam saya sabar menanggung segala sesuatu<br />
<br />
Puji Tuhan! Sekarang Puisi Kasih itu memberikan pengharapan kepada saya. Saya mengerti bahwa, dengan kekuatan saya sendiri, saya takkan pernah mampu untuk mengasihi dengan benar. Namun, apabila Kristus tinggal di dalam diri saya, maka kasihNya yang sempurna itu akan memancar keluar dan menyentuh hidup orang lain.<br />
<br />
Benar apa yang dikhotbahkan pendeta kami kemarin: "Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami" (2 Korintus 4:7).<br />
<br />
Tuhan memang menjadikan saya dari tanah liat, yang rapuh, dan sama sekali tidak sempurna. Supaya, ketika orang lain mendapat berkat, mereka jadi tahu, bahwa bukan diri sayalah yang memberkati, melainkan kekuatan Allahlah yang memampukan! Sehingga saya tidak mencuri kemuliaan Allah, sehingga orang tidak melihat saya, melainkan memuji Kristus yang tinggal di dalam saya.Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1146267274528800302006-04-29T06:31:00.001+07:002011-09-04T09:10:21.736+07:00Piala WeningSekitar dua minggu yang lalu, saya mendapat SMS dari Rut, istri saya. Saya diminta membuat satu kalimat penghargaan untuk Wening. Katanya, kalimat itu akan di-grafir di sebuah piala. Tentu saja saya bertanya: ”Piala apa?” Rupanya, dalam rangka Perayaan Paskah, Wening ikut lomba menyanyi di sekolahnya. Hanya saja, dia belum memenangkan lomba itu, sehingga tidak mendapat piala. Dan itu membuat Wening sangat sedih. Rut kemudian memutuskan untuk membelikan piala sendiri bagi Wening. Saya sangat setuju dengan keputusan itu.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Inilah kalimat yang ter-grafir di piala itu: ”Diberikan kepada Wening sebagai penghargaan untuk keberaniannya maju ikut lomba menyanyi di sekolah.” Kalimat itu ditulis dalam bahasa Inggris, karena kami ingin agar Wening tahu, bahwa sayalah yang membuat kalimat itu; sehingga dia tahu bahwa walaupun terpisah jauh, ayahnya masih bisa terlibat di dalam hidupnya.<br />
<br />
Ketika Rut menyerahkan piala itu kepada Wening, ia memberikan penjelasan bahwa piala itu bukan dari sekolah; dan diberikan bukan karena Wening menang lomba menyanyi. Tetapi, piala itu dari Pap dan Mam, karena kami bangga Wening sudah berani maju ikut lomba. <span style="font-style: italic;">Can you guess how she responded?</span> Gembiranya minta ampun! Kata Rut, dalam beberapa malam piala itu dikeloni Wening dalam tidurnya!<br />
<br />
Berapa sih harga piala itu? Tidak sampai 50 ribu rupiah. Seberapa susah sih untuk pergi membeli dan meng-grafirnya? Tidak susah sama sekali—semua orang pasti bisa melakukannya. Berapa lama sih waktu yang dibutuhkan untuk menyusun kalimat penghargaan itu? Tidak sampai 1 menit. Jadi, kalau diukur dari harga dan tingkat kesulitan untuk membuatnya, sebenarnya piala itu sangat kecil nilainya.<br />
<br />
Tetapi, bagi Wening, dan bagi kami berdua, piala itu punya arti yang sangat besar. Karena, itu adalah simbol penghargaan kami, lambang penerimaan kami kepada Wening: walaupun dia tidak menang, walaupun dia tidak mendapat penghargaan dari sekolah, kami tetap menerima dia dan tetap mencintai dia.<br />
<br />
***<br />
<br />
Setiap kali saya punya kesempatan untuk belajar tentang kehidupan Tuhan Yesus, saya selalu saja dibuat kagum dengan keyakinan DiriNya. Tidak ada satupun yang membuatNya grogi. Ia tidak pernah salah tingkah atau besar kepala ketika dipuji. Ia tidak pernah stress atau bersedih ketika dimaki.<br />
<br />
Tidak ada orang yang bisa membuatNya sakit hati, tidak ada satu keadaan apapun yang bisa membuatNya putus asa. Bahkan, ketika penolakan orang kepadaNya itu mencapai klimaks di kayu salib, Ia tidak mengalami kepahitan, Ia tidak marah atau mendendam, justru Ia berdoa agar Tuhan mengampuni mereka.<br />
<br />
Apa rahasiaNya? Bisakah saya memiliki rasa aman (<span style="font-style: italic;">security</span>) seperti itu di dalam batin saya?<br />
<br />
Saya sadar, bahwa saya belum memiliki keyakinan dan rasa aman itu. Saya masih tersinggung dan sakit hati karena perlakuan orang lain, dan saya masih terluka ketika tidak dihargai. Itu menunjukkan bahwa sebenarnya saya merasa tidak aman dengan diri saya sendiri. Saya masih membutuhkan penerimaan (<span style="font-style: italic;">approval</span>) dari orang lain. Dan ketika penerimaan itu tidak saya peroleh, maka saya merasa diri saya ini tidak berharga; dan hati saya menjadi terluka.<br />
<br />
***<br />
<br />
Setelah 30 tahun tinggal bersama keluargaNya sebagai tukang kayu, Tuhan Yesus memulai pelayananNya. Ia tidak memulai dengan melakukan mujizat atau berkhotbah. Ia juga tidak memulai dengan mengumpulkan orang untuk membuat organisasi. Tetapi, Ia memulai dengan pergi ke lokasi pembabtisan Yohanes, dan minta agar Yohanes membabtisNya. Inilah yang kemudian terjadi:<br />
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-family: verdana;"></span></span><br />
<blockquote><span style="font-size: 85%;"><span style="font-family: verdana;">Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan." (Matius 3:16)</span></span></blockquote>Pada hari pembabtisan itu, Allah Bapa di surga dengan tegas menyatakan approval-Nya kepada Tuhan Yesus. Allah Bapa menyatakan dengan jelas bahwa Ia mengakui Tuhan Yesus sebagai AnakNya, bahwa Ia mengasihi Tuhan Yesus, dan bahwa Ia berkenan kepada hidup Tuhan Yesus. Dalam versi NIV, kata ”berkenan” diterjemahkan sebagai ”<span style="font-style: italic;">well pleased</span>”. Berarti, Allah Bapa sangat senang dengan hidup Tuhan Yesus. Allah Bapa menyatakan bahwa Ia menerima dan menghargai Tuhan Yesus.<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">Do you know what really impress me from that story?</span> Yang paling berkesan bagi saya adalah: <u>pernyataan penerimaan dan penghargaan itu justru diberikan ketika Tuhan Yesus belum melakukan apa-apa bagi BapaNya</u>. Ia belum mulai memberitakan Injil, Ia belum mulai berkhotbah, Ia belum menyembuhkan orang, Ia belum melakukan mujizat, Ia belum memenangkan orang berdosa, dan Ia belum mati di atas kayu salib!<br />
<br />
Tuhan Yesus belum mulai melakukan misi yang ditetapkan oleh BapaNya. Namun, sebelum Ia melakukan itu semua, BapaNya telah menyatakan penerimaan dan penghargaanNya!<br />
<br />
Saya pikir, itulah rahasianya! Tuhan Yesus tahu pasti, bahwa BapaNya menerima dan menghargaiNya. Tuhan Yesus yakin pasti, bahwa BapaNya telah memberikan <span style="font-style: italic;">approval </span>atas hidupNya. Dan penerimaan serta penghargaan dari BapaNya itu sudah cukup bagi Tuhan Yesus! <span style="font-style: italic;">He don’t need any approval from anybody else!</span> Seluruh dunia boleh membenciNya, semua orang boleh menolakNya. Tidak jadi soal, sebab BapaNya yang di sorga berkenan kepadaNya.<br />
<br />
Betapa berbedanya cara Tuhan dan cara dunia. Di dunia, orang harus lebih dulu melakukan sesuatu yang baik supaya mendapat penerimaan dan penghargaan. Itulah sebabnya, orang jungkir balik setengah mati untuk berprestasi, untuk melakukan sesuatu yang berarti, untuk memiliki hal yang dipandang bernilai—supaya diterima dan dihargai orang lain.<br />
<br />
Itulah yang menyebabkan orang membeli ijazah palsu: karena ia berpikir, orang akan kurang menghargainya kalau ia tidak punya titel akademis. Itulah yang membuat banyak remaja memakai obat bius: karena ia berpikir, bahwa tanpa itu ia tidak akan diterima oleh teman-temannya. Dan ketika ia sudah merasa melakukan banyak kebaikan, tetapi orang tidak menghargainya; ia menjadi terluka dan sakit hati! Itulah cara dunia.<br />
<br />
Inilah cara Allah: ”<span style="font-style: italic;">Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa</span>” (Roma 5:8). Ia mengasihi saya tanpa syarat. Kristus mati bagi saya, bukan karena saya sudah hidup kudus, bukan pula karena saya sudah melakukan sesuatu untukNya. Ia telah mati bagi saya, justru ketika saya masih ada di dalam dosa. Oleh sebab itu, keselamatan dan penerimaan dari Tuhan tidak akan pernah bisa diperoleh dengan usaha saya sendiri, melainkan semata-mata karena anugerahNya saja (Efesus 2:8,9).<br />
<br />
***<br />
<br />
Betapa saya ingin memiliki hati yang sederhana seperti Wening. Selama orangtuanya menerima dan mengasihinya, Wening tidak peduli apa kata dunia tentangnya. Selama orangtuanya menghargainya, Wening tidak membutuhkan <span style="font-style: italic;">approval </span>dari siapapun juga. Betapa saya ingin memiliki hati seperti Tuhan Yesus. Oleh karena BapaNya telah menyatakan penerimaan dan penghargaanNya, Tuhan Yesus tidak membutuhkan <span style="font-style: italic;">approval </span>dari orang lain.<br />
<br />
Inilah doa saya. Agar saya selalu ingat, bahwa Kristus sudah menerima saya-apa adanya saya: bukan karena kebaikan saya, namun justru ketika saya masih berdosa. Agar saya selalu ingat, bahwa apapun kata orang tentang saya, apapun pandangan orang mengenai saya-selama saya berada di posisi yang benar di hadapan Tuhan; saya tidak perlu terluka, saya tidak perlu merasa ditolak (<span style="font-style: italic;">rejected</span>).<br />
<br />
Karena saya tahu, di sana, di surga, di meja kerja Bapa saya, ada satu folder berisi file kehidupan saya; dan folder itu telah distempel dengan tulisan: APPROVED BY GOD!Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1145155224087917752006-04-16T09:33:00.001+07:002011-09-04T09:11:21.881+07:00Suatu Petang di Tengah Jalan Menuju EmausMinggu malam, dua orang berjalan kaki menuju Emaus, sebuah kampung sekitar 7 mil (sekitar 11 km) di sebelah barat Yerusalem. Selama berjalan, kedua orang ini terus sibuk berbicara satu sama lain. Sementara mereka asyik bicara, Seseorang menyusul mereka dan turut berjalan di samping mereka. Tuhan Yesus berjalan bersama mereka, namun mata mereka tidak mengenaliNya.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Tuhan Yesus bertanya apa yang begitu asyik mereka perbincangkan. Dan kedua orang inipun menjelaskan bahwa mereka sedang membicarakan tentang Yesus, Nabi besar yang melakukan banyak mujizat, namun yang telah mati disalibkan tiga hari sebelumnya, dan ketika beberapa wanita pergi ke kuburNya pagi itu, mereka tidak menemukan tubuhNya (Lukas 24:13-24).<br />
<br />
Sebuah pertanyaan muncul dalam pikiran saya: Mengapa Tuhan Yesus memilih untuk menyusul kedua orang ini? Mengapa Ia datang mendekati mereka? Padahal ada begitu banyak orang yang bisa didatangi malam itu?<br />
<br />
Salah satu jawaban yang muncul adalah: karena mereka sedang membicarakan Dia. Ketika orang membicarakan Tuhan Yesus, Ia tertarik untuk datang mendekat. Maleakhi 3:16 (NIV) mencatat:<br />
<blockquote style="font-family: verdana;"><span style="font-size: 85%;">Then those who feared the LORD talked with each other, and the LORD listened and heard. A scroll of rememberance was written in His presence concerning those who feared the LORD and honored His name.<br />
</span></blockquote>Orang-orang yang takut akan Tuhan berbicara satu sama lain tentang Tuhan, dan Ia datang mendekat dan mendengarkan pembicaraan mereka. Tuhan sangat suka mendengarkan anak-anakNya membicarakan tentang Dia karena mereka takut akan Dia dan memuliakan namaNya.<br />
<br />
Saya merasa ditegur dengan keras. Ketika saya bertemu dengan orang lain, apa yang saya bicarakan dengan mereka? Apa yang menjadi bahan perbincangan saya? Keluhan, gosip, pertengkaran, keburukan orang lain? Ataukah ataukah membicarakan Tuhan, kebaikanNya, kesetiaanNya, kuasaNya, bagaimana bisa mentaati dan mengasihi Dia?<br />
<br />
Saya harus mengakui, bahwa tidak selalu saya bisa dengan spontan membicarakan Tuhan atau prinsip-prinsip firman Tuhan. Padahal, apa yang keluar dari mulut saya adalah pancaran dari isi hati saya (Matius 15:18).<br />
<br />
Kalau hati saya tidak dipenuhi kecintaan kepada Tuhan dan rasa takut kepadaNya, mustahil saya bisa dengan ”natural” membicarakan Dia. Kalaupun saya mendiskusikan perkara-perkara tentang Tuhan, maka itu karena dipaksakan, oleh karena saya sedang berada di dalam lingkungan yang ”rohani”, dan saya tidak mau dinilai sebagai seseorang yang duniawi. Dan Tuhan tahu, bahwa saya sedang berpura-pura!<br />
<br />
***<br />
<br />
Kembali ke jalan menuju Emaus. Tuhan Yesus kemudian menjelaskan kepada mereka seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab Musa sampai semua kitab para nabi; bahwa Mesias harus menderita sebelum masuk ke dalam kemuliaanNya. Mendengar penjelasan itu, hati kedua orang ini menjadi berkobar-kobar karena pikiran mereka menjadi terbuka kepada kebenaran firman Tuhan.<br />
<br />
Dan ketika mendekati Emaus, Tuhan Yesus hendak meneruskan perjalanan; namun kedua orang ini menahanNya. Mereka minta agar Dia tinggal bersama mereka. Dan permintaan itu bukanlah cuma basa-basi, sebab Alkitab mencatatnya demikian ”Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya: "Tinggallah bersama-sama dengan kami...” (Lukas 24:29).<br />
<br />
Dalam Alkitab NIV dikatakan: ”<span style="font-style: italic;">But they urged Him strongly</span>” dan dalam Amplified Bible dicatat: “<span style="font-style: italic;">But they urged and insisted</span>”. Mereka membujuk, memohon, mendesak dengan sangat agar Tuhan Yesus tinggal bersama mereka.<br />
<br />
Dan Tuhan Yesus menuruti permintaan itu. Ia suka ketika orang membujuk dan mendesakNya untuk tinggal bersama mereka. Ia suka melihat hati yang sungguh-sungguh ingin bergaul denganNya. Bukankah Ia sendiri sangat ingin untuk bersekutu dengan kita?<br />
<blockquote style="font-family: verdana;"><span style="font-size: 85%;">Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku (Wahyu 3:20).</span></blockquote>Saya harus kembali mengakui, bahwa tidak setiap saat hati saya ini ingin bertemu dengan Tuhan. Bahkan ketika saya berada di dalam suatu acara atau kegiatan ibadah, hati saya tidak selalu sungguh-sungguh mencari Dia. Ada waktu-waktu di mana jam-jam ibadah hanyalah merupakan rutinitas saja.<br />
<br />
Kalau mau sungguh-sungguh jujur, ada beberapa kesempatan di mana saya sangat enggan pergi ke gereja atau persekutuan. Kalau saja saya tidak harus melayani, kalau saja saya tidak takut dengan penilaian orang, kalau saja saya tidak peduli dengan apa kata orang—mungkin saya sudah tidak datang. Dan saya tahu, ketika sikap seperti itu ada di dalam hati saya, maka ibadah yang saya lakukan sebenarnya sia-sia saja di hadapan Tuhan:<br />
<blockquote></blockquote><blockquote style="font-family: verdana;"><span style="font-size: 85%;">Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan (Yesaya 29:13).</span></blockquote>Saya yakin, bahwa Tuhan selalu hadir di dalam setiap ibadah. Sebab Ia sudah berjanji bahwa di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaNya, maka Ia akan ada bersama-sama mereka (Matius 18:20). Persoalannya adalah: <u>berada di tempat yang sama tidak identik dengan mengalami persekutuan atau <span style="font-style: italic;">fellowship</span></u>.<br />
<br />
Ada beberapa kesempatan di mana saya berada di suatu tempat bersama orang lain, tetapi sama sekali tidak mengalami <span style="font-style: italic;">fellowship</span>. Misalnya, sendirian pergi ke sebuah acara: banyak orang di sana, tapi sama sekali nggak ada yang dikenal—tidak ada keakraban, melainkan cuma basa-basi. <span style="font-style: italic;">Do you know how it feel</span>? <span style="font-style: italic;">Terrible</span>! Tersiksa, dan rasanya mau pulang saja!<br />
<br />
Saya melihat bahwa hal yang sama kadang terjadi di dalam hidup ibadah saya: tidak mengalami keakraban dengan Tuhan, hanya melakukan ritual tanpa hati yang bersungguh-sungguh menyembah Tuhan. Ada beberapa kesempatan di tengah-tengah ibadah, saya harus berteriak di dalam hati kepada Tuhan agar membuat hati saya tertuju kepadaNya, merindukan dan mencari Dia.<br />
<br />
***<br />
<br />
Setiap Paskah, saya merenungkan tentang berita kebangkitan Tuhan Yesus; sebagai bukti kemenanganNya atas dosa dan maut. Namun Paskah tahun 2006 ini, saya justru diingatkan untuk menata hati saya.<br />
<br />
Agar hati saya penuh dengan takut akan Tuhan dan kecintaan kepada Tuhan, sehingga ketika saya bicara atau mengobrol dengan orang lain, Tuhanlah yang menjadi pusat pembicaraan saya.<br />
<br />
Agar saya sungguh-sungguh merindukan dan mencari Dia di dalam ibadah saya, supaya Dia tidak hanya ada bersama saya, namun saya benar-benar mengalami <span style="font-style: italic;">fellowship </span>denganNya.Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1144368388567612782006-04-07T07:04:00.002+07:002011-09-08T16:35:11.987+07:00Kesaksian Pribadi<span style="font-weight: bold;">The First Contact</span><br />
<br />
Saya dilahirkan 35 tahun yang lalu, anak ke-2 dari 5 bersaudara. Kami tinggal di Karanganyar, sebuah kota kabupaten 15 km dari kota Solo, Jawa Tengah. Keluarga kami bukan keluarga Kristen. Ketika saya berusia 6 tahun, saya dan kakak saya mulai diajak untuk pergi ke Sekolah Minggu, yang bertempat di sebuah SD di belakang rumah kami. Dari minggu ke minggu kami terus datang.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Orangtua saya sering mendengar nyanyian dari Sekolah Minggu itu, dan menjadi tertarik dengan Kekristenan. Kemudian, mereka mulai dibina oleh majelis Gereja Kristen Jawa (GKJ ) Karanganyar, dan memutuskan untuk mau dibabtis. Kami sekeluarga dibabtis pada hari yang sama. Hanya saja, saya sama sekali tidak tahu apa arti babtisan itu. Pokoknya asal ikut saja. Saya masih belum mengenal Tuhan.<br />
<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Mulai Mencari Tuhan</span><br />
<br />
Ketika saya duduk di kelas 2 SD, kami harus pindah ke kota Solo. Saya pindah ke sekolah yang baru. Kami kemudian mengikuti Sekolah Minggu yang diadakan oleh Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton--sebab ini adalah gereja yang paling dekat dari rumah, hanya 5-10 menit jalan kaki. Di Sekolah Minggu ini, rasa ingin tahu saya tentang Tuhan mulai timbul. Saya sangat suka mendengar cerita-cerita Alkitab.<br />
<br />
Waktu saya kelas 4, saya mendapat hadiah uang karena meraih suatu kejuaraan. Saya minta ibu mengantar saya ke Toko Buku "Sion" untuk membeli sebuah Alkitab. <span style="font-style: italic;">My very first Bible</span>. Saya mulai membacanya setiap hari. Saya suka cerita-cerita di dalamnya, terutama cerita-cerita peperangan. Saya melompati kitab-kitab yang sulit dan "membosankan". Saya juga suka membaca cerita tentang mujizat yang dilakukan Tuhan Yesus di dalam ke-4 Injil.<br />
<br />
Tetapi, anehnya, yang paling saya sering saya baca adalah kitab Wahyu, terutama di bagian akhir zaman, yaitu ketika Tuhan menimpakan ke-7 tulah (bencana) ke atas bumi. Perasaan saya campur aduk tiap kali membaca bagian tersebut. Ada rasa ingin tahu, namun yang paling besar adalah rasa takut. Saya takut kalau harus mengalami semua bencana itu, saya takut bahwa saya tidak termasuk orang beriman sehingga harus dihukum, saya takut masuk neraka.<br />
<br />
Selain itu, sejak saya SD, saya sangat takut kepada kematian. Saya takut mati. Dari SD sampai SMA, saya sering sulit sekali untuk tidur. Kadang sampai jam 2 atau jam 3 pagi baru bisa tidur--karena saya takut mati dan takut masuk neraka. Saya juga takut kepada setan. Kalau malam-malam harus disuruh keluar rumah atau kalau ke kamar mandi, saya akan nyanyi keras-keras untuk menutupi ketakutan saya.<br />
<br />
Saya bukan anak "nakal", dalam arti, saya biasa-biasa saja. Nggak pernah berkelahi, tidak pernah dihukum di sekolah, tidak pernah melakukan kegiatan yang <span style="font-style: italic;">destructive</span>. Bukankah, itu definisi "kenakalan"? Selama tidak melakukan hal-hal yang merugikan, maka saya dianggap sebagai anak baik-baik. Namun, saya tahu, bahwa sebenarnya saya bukan anak baik-baik. Begitu banyak kejahatan yang saya lakukan dengan tersembunyi. Mencuri uang ibu untuk menyewa/membeli komik atau jajan/nonton bioskop. Berbohong, menyimpan pikiran-pikiran yang kotor, dan semua kejahatan "rahasia" yang lain.<br />
<br />
Di satu sisi, saya sangat suka kepada hal-hal rohani; tertarik kepada hal-hal rohani. Namun di sisi lain, saya terus-menerus melakukan dosa, dan tidak bisa berhenti darinya. Kondisi yang "mendua" ini menyiksa hati saya. Terus menggelisahkan saya. Dalam hati, saya tahu betul bahwa saya orang berdosa. Namun, saya tidak tahu bagaimana bisa lepas dari kondisi ini. Alkitab yang saya baca, khotbah yang saya dengar di Gereja--tidak ada satupun yang memberi penjelasan tentang apa yang harus saya lakukan.<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Second Contact</span><br />
<br />
Tahun 1986, saya masuk ke SMA Negeri 1, salah satu SMA favorit di kota Solo. Di kelas 1, saya mulai diperkenalkan dengan PSK (Persekutuan Siswa Kristen). Pada saat Penataran P4, pada waktu jam ibadah, ada kakak-kakak dari PSK yang menjelaskan berita Injil kepada kami.<br />
<br />
Di akhir penjelasan itu, kami ditantang untuk menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat pribadi. Waktu tantangan itu, saya melirik ke kanan dan ke kiri. Karena teman-teman saya mengangkat tangan, maka saya pun ikut-ikutan mengangkat tangan. Padahal saya tidak tahu sama sekali apa maksudnya. Saya pikir, kalau saya tidak angkat tangan, maka teman-teman saya akan menilai saya sebagai anak yang tidak "rohani".<br />
<br />
Akibat dari tindakan mengangkat tangan itu, saya kemudian ditemui oleh salah seorang kakak kelas. Dia mengajak saya dan seorang teman yang lain untuk ketemu sepulang sekolah. Dalam pertemuan itu, saya ditanya lagi apakah saya sudah terima Tuhan Yesus. Karena malu dan takut, saya jawab saja "Sudah", walaupun sebenarnya saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan menerima Tuhan Yesus.<br />
<br />
Saya lalu ditawari untuk ikut KPA (Kelompok Penyelidikan Alkitab). Kami ketemu seminggu sekali setiap pulang sekolah. Karena memang pada dasarnya saya suka hal-hal yang berbau rohani, saya ikut KPA itu. Saya rajin mengisi bahan,jago menghafal ayat, dan selalu datang di tiap pertemuan. Karena saya adalah anggota yang rajin, maka waktu naik ke kelas 2 saya mulai dilibatkan dalam acara PSK--main gitar untuk mengiringi pujian dan kadang menjadi pemimpin pujian.<br />
<br />
Dari luar, hidup saya sepertinya ideal. Anak baik-baik, tidak nakal, rajin dalam kegiatan rohani, dan aktif melakukan pelayanan. Namun, sebenarnya hidup saya masih sama saja. Saya masih terus melakukan dosa-dosa "rahasia", saya masih terus takut dengan kematian, saya masih sulit tidur karena takut neraka. Semakin banyak pengetahuan Alkitab yang saya dapat, semakin takut dan putus asa hati saya, sebab saya tahu saya tidak bisa memenuhi standar Firman Tuhan, dan pasti saya akan dihukum oleh Tuhan karena dosa-dosa saya.<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Ditangkap oleh Tuhan</span><br />
<br />
Tahun 1988, saya duduk di kelas 2. Dalam sebuah acara PSK, mas Gunawan Sri Haryono kembali menjelaskan tentang Injil. Isinya sama persis dengan apa yang pernah saya dengar waktu di kelas 1, yaitu:<br />
<br />
Semua manusia berdosa (Roma 3:23) dan hukuman dosa ialah maut (Roma 6:23), maka manusia berusaha untuk menghindari hukuman ini dan mendapat keselamatan, tetapi usaha itu sia-sia (Efesus 2:8,9).<br />
<br />
Oleh karena manusia tidak bisa menyelamatkan diri, maka Allah yang bertindak mendatangi manusia. Karena kasihNya, Ia memberikan AnakNya yang tunggal (Yohanes 3:16). Untuk menggantikan manusia dalam menanggung hukuman dosa, Tuhan Yesus harus mati di atas kayu salib dan dikuburkan; namun pada hari ke-3 bangkit lagi untuk menyatakan kemenangan atas dosa (1 Petrus 3:18). Tuhan Yesus adalah satu-satunya jalan untuk kembali kepada Tuhan (Yohanes 14:6).<br />
<br />
<blockquote></blockquote><blockquote>Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup (Yohanes 5:24)<br />
<br />
Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya (Yohanes 1:12)</blockquote><br />
Walaupun saya sudah pernah berkali-kali mendengar berita Injil ini, namun malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya dengan jelas mengerti apa maksudnya. Seolah-olah tabir yang selama ini menutupi pengertian saya menjadi terbuka. Saya menjadi sadar bahwa memang saya orang berdosa yang membutuhkan Tuhan Yesus untuk menyelamatkan saya.<br />
<br />
Malam itu Mas Gun memberikan tantangan: siapa yang mau menerima Tuhan Yesus masuk ke dalam hidup menjadi Juru Selamat pribadi. Saya tidak mengangkat tangan, namun untuk pertama kalinya, saya berdoa di dalam hati demikian: "Tuhan Yesus, saya ini orang berdosa. Tolong selamatkanlah saya".<br />
<br />
Cuma sependek itu doa saya. Namun saya menaikkannya dengan penuh kesadaran dan sepenuh hati saya. Dan saat itu juga, selesai saya berdoa, ada perasaan damai dan lega yang memenuhi hati saya. Dada saya rasanya sesak dengan kelegaan. Saya belum pernah merasakan kedamaian dan kelegaan seperti itu. Saya tahu, malam itu saya ditangkap oleh Tuhan, dan saya dilahirkan kembali menjadi anakNya.<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Mulai Berjalan bersama Tuhan</span><br />
<br />
Pulang dari PSK malam itu, saya merasa sangat lega. Malam itu saya tidur nyenyak. Sejak saat itu saya tidak pernah takut kepada setan atau kegelapan lagi. Saya bisa berjalan sendirian di tempat segelap apapun, dan tetap merasa damai. Saya tidak pernah punya masalah sulit tidur, dan yang paling penting, saya tidak lagi takut mati. Sebab saya tahu, ketika saya mati, saya tidak akan pergi ke neraka, tetapi saya akan disambut oleh Tuhan Yesus di dalam KerajaanNya.<br />
<br />
Sejak hari itu, saya makin haus untuk mengerti firman Tuhan. Tahun 1989, saya mulai kuliah, dan saya mulai dilayani Mas Gun di dalam kelompoknya. Saya terus belajar dari beliau dalam segala hal: ibadah, ketaatan, keuangan, pelayanan, watak, pernikahan, membina anak, karir dan pekerjaan--semua bagian hidup saya dibangun Tuhan melalui pertolongan mas Gun. Beliau benar-benar bapak rohani saya: yang menolong saya untuk lahir baru, dan yang berperan paling besar dalam memelihara dan membangun hidup saya. Satu demi satu, dosa-dosa yang sudah mendarah daging itu mulai lepas dari hidup saya.<br />
<br />
Saya terus mengikuti KPA seminggu sekali (kadang lebih) bersama mas Gun selama 11 tahun, sebab Maret 2000 saya harus pergi ke Newcastle untuk sekolah lagi. Sampai sekarangpun, mas Gun masih terus menolong saya. Dan saya tidak sabar menunggu waktu untuk pulang ke Solo, untuk ketemu dan belajar dan melayani bersama mas Gun lagi.<br />
<br />
Saya belum sempurna. Dosa-dosa masa lalu saya masih sesekali muncul. Saya masih terus berjuang mengatasi watak saya yang buruk. Sampai sekarangpun masih ada bagian-bagian hidup yang terus membuat saya sedih dan menangis. Puji Tuhan, sebab Ia sangat mengasihi dan sabar kepada saya. Sekalipun saya bandel dan suka melawan, Ia tidak pernah putus asa untuk menolong saya. KesetiaanNya kepada saya adalah kekuatan yang membuat saya tidak menyerah di dalam hidup saya.<br />
<br />
<blockquote>Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus (Filipi 1:16)</blockquote>Sri HastjarjoHasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1144113388060035992006-04-04T08:12:00.002+07:002011-09-08T16:35:36.660+07:00Sekaleng KelerengSiapa yang belum tahu kelereng atau gundu? Hampir semua orang (terutama pria) pasti kenal dengan bola kaca dengan motif warna-warni ini. Entah berapa macam jenis permainan yang terinspirasi oleh benda kecil ini. Saya bukan seorang pemain kelereng yang terampil, tetapi ada beberapa teman saya di SD yang luar biasa hebat kalau sudah memegang kelereng.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Ada satu orang yang punya satu kaleng biskuit Regal penuh dengan kelereng. Tiap kali kami main ke rumahnya, dia akan selalu memamerkan "harta kekayaannya". Dan kami pun dengan takjub memelototi koleksi kelereng itu. Ketika kami sudah berkerumun, teman saya ini akan menggoyang-goyangkan kaleng biskuit itu, sehingga kelereng-kelereng di dalamnya berlompatan, saling bersinggungan, menimbulkan suara sentuhan kaca yang begitu melodis bagi telinga kami--anak-anak SD yang masih suka ingusan.<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
Hari ini, saya teringat kepada sekaleng kelereng itu. Bayangan ini yang muncul di dalam pikiran saya: puluhan kelereng, masing-masing punya motif warna yang berbeda, mereka berada di tempat yang sama, saling bersinggungan, saling bersentuhan, namun tidak pernah akan bisa melebur menjadi satu.<br />
<br />
Pikiran itu membawa saya kepada satu bagian surat Rasul Paulus kepada salah satu jemaat yang dilayaninya (Filipi 2:1-4).<br />
<br />
<blockquote><span style="font-family: verdana; font-size: 85%;">Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.</span></blockquote>Mestinya, Paulus tidak sembarangan atau berbasa-basi di dalam menulis surat penggembalaannya. Kalau ia menulis surat, maka surat itu pasti punya tujuan. Dan karena surat Filipi ini berisi dorongan atau perintah untuk membangun kesatuan, bisa disimpulkan bahwa saat itu jemaat Filipi memang sedang memiliki persoalan di bidang itu. Mengapa ada persoalan ketidaksatuan di dalam jemaat Filipi?<br />
Kisah Para Rasul 16:12-40 mencatat pelayanan Paulus ketika memulai jemaat di kota Filipi. Dicatat di sana, jemaat Filipi diawali dengan pertobatan Lidia (Kis. 16:14-15), seorang Yahudi yang berdagang kain ungu dan keluarganya; kemudian ditambah dengan seorang mantan budak perempuan yang punya roh peramal (Kis 16:16-18), dan disusul dengan kepala penjara Romawi dan keluarganya (Kis. 16:27-34).<br />
Dari catatan itu, dapat dilihat bahwa jemaat Filipi berisi orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Ada perbedaan bangsa, status sosial, serta pekerjaan. Perbedaan-perbedaan ini memang bisa, dan ternyata memang telah, menjadi salah satu penyebab konflik di dalam jemaat. Namun, bagi Paulus, bukan perbedaan-perbedaan itu yang menjadi penyebab utama. Paulus melihat, kunci persoalannya ada pada sikap hati masing-masing anggota jemaat.<br />
Dalam Filipi 2:1-2, Paulus mengatakan apa yang diinginkannya supaya terjadi di dalam jemaat, yaitu: kesatuan hati, pikiran, kasih, jiwa, dan tujuan. Kemudian di ayat 3-4, Paulus menyebutkan bagaimana cara mencapai kesatuan tersebut, yaitu: tidak mencari kepentingan sendiri, tidak mencari pujian yang sia-sia, bersikap rendah hati, memandang orang lain lebih utama, dan tidak bersikap egois, melainkan mau memperhatikan kepentingan orang lain.<br />
Dalam mengatasi ketidaksatuan jemaat, Paulus tidak menyarankan supaya jemaat membuat program atau kegiatan yang baru. Ia juga tidak merekomendasikan agar dilakukan perombakan (<i>reshuffle</i>) susunan pengurus jemaat. Paulus menasihatkan jemaat untuk melakukan perombakan sikap hati. Dari sikap hati yang ambisius, arogan, dan egois menjadi hati yang penuh dengan kerendahan hati, memandang orang lain lebih utama, dan memikirkan kepentingan orang lain.<br />
***<br />
Orang-orang dengan berbagai latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda, dikumpulkan dalam satu tempat, menggabungkan diri ke dalam sebuah organisasi, dan kemudian melakukan kegiatan bersama, tidak menjamin akan menciptakan kesatuan; sebab kesatuan yang sesungguhnya hanya bisa dimulai dari sikap hati yang benar: yang tidak berambisi mengejar kepentingan sendiri, namun yang rendah hati saling melayani.<br />
Apabila sikap hati seperti itu tidak ada, maka yang tinggal hanyalah sekumpulan orang yang ketemu di satu tempat, berinteraksi, saling bicara, melakukan aktivitas sama-sama, namun tidak pernah bisa mencapai kesatuan hati-jiwa-pikiran-tujuan. Seperti puluhan kelereng yang saling bersinggungan dan bersentuhan di dalam kaleng biskuit.Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1143680953178236142006-03-30T08:06:00.001+07:002011-09-04T08:24:54.480+07:00Makan Malam TerindahBeberapa waktu yang lalu, saya mendapat undangan untuk makan malam di rumah salah satu keluarga. Tidak ada yang berulang tahun, tidak ada yang wisuda, tidak ada peristiwa khusus yang dirayakan. Semata-mata datang untuk makan bersama. Keluarga yang satu ini memang punya kebiasaan mengundang makan, terutama para <i>bulok</i> (bujangan lokal) yang sangat terbatas keragaman menu makannya (kalau bukan telor ceplok atau indomie rebus ya <i>fish & chip</i> dan burger, he...he...he...).<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Tapi, acara makan malam kemarin itu tidak semata-mata untuk memberikan peningkatan gizi kepada para bulok itu. Soalnya, yang datang ternyata berasal dari kalangan yang lebih luas. Dari sepasang ibu dan anak perempuannya yang paling setia mencuci piring di Gereja, sampai bapak-ibu dari Medan yang hendak menunggui kelahiran cucunya. Dari pengantin baru yang menikmati suasana bulan madu, sampai suami-istri yang sedang menanti kelahiran anak keduanya. Dari mahasiswi baru yang masih menderita <i>homesick</i>, sampai mahasiswa lama yang stress karena thesisnya nggak selesai juga. Dan tak ketinggalan, ibu-ibu yang begitu perkasa dalam melakukan peran mereka sebagai <i>single parent</i>.<br />
<br />
Acaranya? Wah, jangan ditanya lagi. Lebih daripada cuma sekedar makan bersama. Beragam! Mulai dari ngobrol ngalor-ngidul, menyanyikan lagu-lagu Batak dan Mangarai, menari poco-poco, cha-cha, dan rock & roll, sampai dengan rapat gelap para <i>cleaner </i>profesional. Pokoknya komplit!<br />
<br />
Akan tetapi, bukan semua kemeriahan dan hingar bingar itu yang paling berkesan di hati saya. Bukan lagu, obrolan, canda, dan lezatnya masakan yang membuat saya terus mengenang malam itu.<br />
<br />
***<br />
<br />
Sesaat sebelum kami mulai menyantap hidangan, seorang Ibu diminta untuk memimpin doa. Beberapa orang mendorong dan memberi semangat kepada Ibu ini, oleh karena beliau kelihatan sungkan dan merasa tidak siap. Semula, saya mengira bahwa teman-teman itu hanya bergurau, tetapi ternyata mereka sungguh-sungguh meminta Ibu ini untuk berdoa.<br />
<br />
Saya benar-benar <i>speechless</i>, ketika sang Ibu benar-benar memimpin doa. Bertahun-tahun saya mengenal Ibu ini. Bertahun-tahun kami beribadah bersama di Gereja. Dan ini adalah untuk pertama kalinya saya mendengar beliau berdoa di muka umum.<br />
<br />
Dan, betapa indah doa yang diucapkannya. <i>That was one of the most beautiful prayer I've ever heard!</i> Begitu menyentuh perasaan. Saya dan beberapa orang benar-benar meneteskan air mata mendengarkan doa itu diucapkan.<br />
<br />
Doanya tidak berbunga-bunga atau penuh dengan kata-kata mutiara. Justru sangat sederhana, dengan kata-kata sehari-hari dan bukan kata-kata yang "rohani". Caranya berdoa begitu bersahaja, tidak seperti orang yang berdeklamasi atau berkhotbah di mimbar; namun seperti seorang yang sedang bicara kepada teman yang duduk di depannya.<br />
<br />
Lalu mengapa doa itu begitu menyentuh? Saya pikir, mungkin karena doa itu dinaikkan dengan sepenuh hatinya, dengan segala ketulusan nuraninya. Saya bisa merasakan ketulusan itu. Ibu ini tidak sedang pamer kehebatan di dalam berdoa, tidak sedang melakukan pertunjukan, tidak sedang mencari pujian. <i>She did not try to impress anybody, but she tried to express her mind and feeling to the Lord</i>.<br />
<br />
***<br />
<br />
Ada satu hal lagi yang memenuhi pemikiran saya. Saya terus-menerus bertanya kepada diri saya sendiri: mengapa ibu ini akhirnya berani berdoa di muka umum? Saya mendengar dari seorang teman, bahwa sebenarnya ibu ini sudah lama punya keinginan untuk berdoa di muka umum. Tetapi, mengapa baru sekarang hal itu terwujud?<br />
<br />
Apakah selama ini dia merasa tidak siap? Kalau benar begitu, lalu mengapa sampai ada perasaan tidak siap? Apakah dia berpikir bahwa orang lain menuntut suatu standar tertentu di dalam berdoa, dan dia merasa belum mampu mencapai standar tersebut? Apakah selama ini ia merasa minder karena mendengar doa-doa "bagus" yang diucapkan oleh orang lain?<br />
<br />
Ataukah, sebenarnya lingkungannya yang menjadi penghalang baginya? Apakah karena selama ini tidak ada satu orang pun yang terpikir untuk memintanya berdoa? Apakah orang-orang di sekitarnya selama ini tidak menampakkan apresiasi dan penghargaan yang memberi dorongan kepadanya? Ataukah selama ini suasana yang ada tidak cukup hangat atau <i>welcome</i> sehingga menimbulkan rasa sungkan dan takut?<br />
<br />
***<br />
<br />
Saya tidak bisa dengan tuntas menjawab semua pertanyaan itu. <i>And to tell you the truth, I don't really mind</i>. Sebab apapun jawabannya, yang penting malam itu saya diijinkan memperoleh pengalaman yang begitu berharga!<br />
<br />
Terimakasih, Saudaraku. Karena telah membuka pintu rumahmu, membuat kami merasa diterima, merasa <i>at home</i>. Sampai-sampai, keramahan suasananya mampu memberikan dorongan dan keberanian bagi seseorang untuk mencurahkan hatinya kepada Tuhan.<br />
<br />
Terima kasih, Ibu. Doa Ibu semalam adalah doa yang sangat indah. Saya belajar banyak darinya. Saya mendapat banyak berkat olehnya.Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1143680474192781692006-03-30T07:58:00.001+07:002011-09-04T09:16:16.930+07:00Kesempatan EmasSampai sekarang, saya masih suka menonton film animasi. Salah satu film yang saya sukai adalah produksi Disney berjudul Hercules. Film ini berkisah tentang seorang anak muda yang ingin menjadi seorang hero (pahlawan), supaya bisa naik ke gunung Olympus, tempat tinggal para dewa Yunani.<br />
<br />
Dalam satu adegan, setelah selesai menjalani training di pulau terpencil, Hercules pergi ke kota Thebes. Thebes adalah kota yang penuh dengan bencana dan persoalan. Hercules merasa ini adalah kesempatan emas baginya untuk menunjukkan kepahlawanannya. Namun, ketika ia memperkenalkan diri, penduduk kota Thebes justru mentertawakannya dan menolaknya. Hercules, dengan putus asa berkata: "Bagaimana aku bisa membuktikan bahwa aku seorang hero, kalau tidak pernah diberi kesempatan?"<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Ada satu kisah kepahlawanan yang lain. Ada seorang anak muda bernama Daud. Ia sudah dipilih dan diurapi menjadi raja, namun belum ada kesempatan untuk "diorbitkan" agar namanya dikenal oleh rakyat Israel. Karena saat itu, raja Saul yang akan digantikannya masih berkuasa--walaupun sebenarnya sudah kehilangan legitimasi dan pengurapan dari Tuhan. Di mata manusia mungkin Saul masih menduduki posisi sebagai raja, namun di mata Tuhan ia sudah ditolak.<br />
<br />
Suatu hari, dalam sebuah peperangan dengan bangsa Filistin, bangsa Israel ditantang untuk melakukan pertarungan satu lawan satu dengan Goliat, seorang raksasa yang punya pengalaman perang. Tak ada satupun tentara Israel, termasuk Saul yang berani maju. Sampai kemudian Daud yang maju untuk menghadapi Goliat. Ah, kita sudah mendengar cerita ini puluhan kali! Kita tahu akhir ceritanya, bukan?<br />
<br />
***<br />
<br />
Yang menarik perhatian saya dari kisah Daud vs Goliat adalah: mengapa Daud bisa sampai ke medan perang? Dia adalah penggembala domba yang masih remaja--sehingga belum terkena wajib militer. Kakak-kakaknya memang menjadi tentara dalam pasukan Saul, namun Daud sendiri masih belum cukup umur untuk maju berperang. Mengapa dia bisa berada on right place and on the right time--sehingga mendapat kesempatan emas untuk dikenal oleh bangsa Israel?<br />
<br />
<blockquote><span style="font-family: verdana; font-size: 85%;">Isai berkata kepada Daud, anaknya: "Ambillah untuk kakak-kakakmu bertih gandum ini seefa dan roti yang sepuluh ini; bawalah cepat-cepat ke perkemahan, kepada kakak-kakakmu. Dan baiklah sampaikan keju yang sepuluh ini kepada kepala pasukan seribu. Tengoklah apakah kakak-kakakmu selamat dan bawalah pulang suatu tanda dari mereka (1 Samuel 17:17-18)<br />
</span></blockquote><br />
Satu-satunya alasan mengapa Daud bisa berada di medan perang adalah: karena dia sedang disuruh ayahnya untuk mengirim bekal makanan bagi kakak-kakaknya. Tidak ada yang istimewa dari tugas itu. Itu adalah tugas rumah tangga sehari-hari yang harus dilakukannya sebagai anak bungsu. Namun, kesediaannya untuk mengerjakan tugas yang sepele itu telah membuka pintu kesempatan baginya untuk tampil sebagai pahlawan, sebagai pembunuh raksasa, yang terkenal di seluruh Israel.<br />
<br />
***<br />
<br />
Keluhan yang diucapkan oleh Hercules di atas sering terdengar di antara kita. Kapan aku mendapat kesempatan untuk membuktikan bahwa aku juga bisa melayani, aku juga punya talenta, aku juga punya urapan, aku juga punya kuasa? Ketika kita merasa memiliki sesuatu yang hebat, maka hati kita penasaran untuk memamerkannya, untuk menunjukkannya kepada semua orang. Supaya orang tahu, bahwa kita bukan orang biasa-biasa, namun seseorang yang punya potensi besar bagi kemuliaan Tuhan.<br />
<br />
Tidak hanya di gereja atau pelayanan, namun juga di dalam seluruh bidang kehidupan. Di lingkungan kantor, di antara teman-teman sekerja, di dalam organisasi apapun juga, juga di lingkungan RT dan perkumpulan PKK di kampung kita. Semua orang pengin mendapat kesempatan untuk tampil, untuk membuktikan kehebatannya, untuk menunjukkan kemampuannya.<br />
<br />
Dan ketika kesempatan itu tidak diperoleh, kita menjadi panas hati dan kecewa. Kita merasa ditolak, tidak dihargai, dan tidak diberi tempat. Kemudian kita mulai memiliki hati yang penuh kritik kepada orang lain. Kita kemudian sibuk mencari-cari kesalahan orang lain yang mendapat kesempatan. Kita mulai membanding-bandingkan diri kita dengan mereka--dan selalu saja kita bisa menemukan kelemahan mereka, dan kelebihan kita sendiri. Dan ketika habis kesabaran kita untuk menunggu pintu kesempatan itu terbuka, maka kita pun pergi ke tempat lain yang kita pikir akan bisa lebih menghargai kita.<br />
<br />
***<br />
<br />
Saya pikir, persoalannya bukan pada ada kesempatan atau tidak. Namun, persoalannya ada pada definisi kita tentang apa yang disebut sebagai "kesempatan" itu. Kebanyakan kita mendefinisikan "kesempatan" sebagai sebuah peluang untuk tampil di muka umum, peluang untuk menunjukkan kemampuan kita sendiri kepada banyak orang, untuk membuat orang lain melihat bahwa kita memiliki potensi.<br />
<br />
Kita juga mendefinisikan "kesempatan" itu sebagai jenis-jenis aktifitas tertentu yang kita pandang lebih "tinggi" daripada aktifitas yang lain. Ketika kesempatan untuk melayani itu hanya ada di bidang-bidang yang biasa-biasa, yang tidak istimewa/spektakuler, dan yang tidak akan dilihat orang, maka kita tidak memandangnya sebagai "kesempatan". Kita punya kecenderungan untuk hanya ingin melakukan sesuatu yang "hebat", yang akan bisa membuat orang lain mengakui kemampuan kita.<br />
<br />
Namun, Tuhan memiliki definisi yang berbeda dari kita. "Engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar" (Matius 25:21). Tuhan selalu menilai seseorang dari kesetiaannya ketika melakukan hal-hal yang kecil dan sepele. Tuhan melihat kesungguhan seseorang ketika ia sedang mengerjakan perkara-perkata yang tidak dilihat oleh orang lain.<br />
<br />
Kita menghargai orang berdasarkan besarnya pekerjaan yang dia lakukan. Tuhan menghargai seseorang dari besarnya kesetiaannya untuk hal-hal yang kecil. Bagi Tuhan, sangatlah mudah untuk membawa kita kepada suatu keadaan di mana kita bisa melakukan hal-hal yang besar. Yang dicariNya adalah: hati yang setia dan bisa dipercaya. Mas Gunawan, pembimbing kami di Solo, selalu berkata kapada kami: "Jangan berharap untuk memenangkan satu sekolah atau satu kota, kalau belum bisa membagikan Injil kepada satu orang."<br />
<br />
***<br />
<br />
Lain kali, kalau kita kita mendapat kesempatan untuk mengantarkan bekal makan siang--atau pekerjaan yang "sepele" lainnya, janganlah kita bersungut-sungut, namun biarlah kita mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan senang hati. Sebab kita tidak pernah tahu, bisa saja di tengah jalan kita akan bertemu dengan Goliat ... dan Tuhan akan memakai kita untuk mengalahkannya.Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1142217323196515202006-03-13T09:14:00.001+07:002011-09-04T09:16:40.075+07:00Membangun Rumah TuhanSekalipun sudah lebih dari 7 tahun berkeluarga, kami belum juga punya rumah sendiri. Kami memang sering bergurau: “Lebih enak kontrak saja. Bisa gonta-ganti model. Dan kalau bosan dengan tetangga, kita bisa pindah”. Namun sesungguhnya, memiliki rumah yang dibangun sesuai dengan kebutuhan dan keinginan adalah salah satu impian kami. Saya sendiri terus merasa “berhutang” kepada keluarga saya selama impian itu belum terwujud.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Hidup orang percaya seringkali digambarkan sebagai rumah Tuhan. Rasul Paulus pernah menulis: “Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ... bangunan Allah” (1 Kor. 3:9). Selanjutnya, Paulus menyatakan bahwa ia diberi anugerah Allah untuk berperan sebagai seorang ahli bangunan yang telah meletakkan pondasi kehidupan bagi jemaat, dan sekarang jemaat bertanggung jawab untuk “memperhatikan bagaimana ia harus membangun di atasnya” (1 Kor. 3:10).<br />
<br />
***<br />
<br />
Membangun rumah bukanlah sebuah pekerjaan yang dapat dilakukan dengan sembarangan. Ada prinsip-prinsip yang harus dipenuhi supaya bangunan yang didirikan itu bisa disebut sebagai rumah, sebagai tempat tinggal.<br />
<br />
<u>Pertama</u>, sebuah rumah memiliki bagian-bagian esensial (terpenting) yang harus ada. Suatu bangunan bisa disebut sebagai “rumah” tempat tinggal apabila bangunan itu memiliki: pondasi sebagai alas, dinding sebagai pembatas, atap sebagai penutup, dan pintu sebagai jalan keluar-masuk penghuninya.<br />
<br />
Apapun bentuknya, apapun bahannya, di manapun lokasinya; apabila sebuah bangunan telah memiliki bagian-bagian esensial tersebut, maka ia akan dapat dijadikan tempat tinggal. Warna cat tembok, merek perabotan, dan hiasan yang akan dipasang adalah hal-hal yang bisa dipikirkan dan didapatkan belakangan.<br />
<br />
Apabila bagian-bagian yang esensial itu telah ada, walau belum punya tempat tidur sekalipun, kita sudah bisa tidur di lantai, dan bangunan rumah itu akan melindungi kita dari terpaan angin dan hujan. Tetapi, apakah gunanya kita memiliki <span style="font-style: italic;">spring-bed</span> yang paling mahal dengan bantal bulu angsa dan <span style="font-style: italic;">bed cover</span> berbahan sutra, kalau dinding dan atapnya belum ada?<br />
<br />
<u>Kedua</u>, untuk membangun rumah diperlukan “proses yang benar”. Di dalam mendirikan sebuah rumah, seorang ahli bangunan akan mengikuti sebuah prinsip dan cara tertentu: membangun dari bawah—dimulai dengan pondasi, ke atas. Mulai dengan bagian-bagian utama, dan dengan bertahap merampungkan hal-hal yang lebih sekunder.<br />
<br />
Pernahkan ditemukan pohon mangga yang berbuah sebelum batangnya tumbuh sempurna? Pernahkah kita melihat seorang ibu yang mengajari bayi berusia 3 bulan untuk membaca? Demikian juga, tidak ada orang yang meletakkan atap rumah lebih dahulu, baru kemudian membangun dindingnya, dan terakhir pondasinya.<br />
<br />
Sama seperti pohon yang tumbuh dari sepucuk tunas, sama seperti manusia tumbuh dewasa dari bayi yang mungil; pembangunan rumah pun mengikuti suatu proses yang urut, yang terstruktur, bertahap, dengan program yang jelas tujuannya.<br />
<br />
Di dalam membangun rumah, seorang arsitek akan memulai proses itu dengan sebuah gambar rancangan. Rancangan itu mencerminkan tujuan dan selera dari calon penghuninya. Sebelum rumah itu jadi, sang arsitek sudah bisa ”melihat” ujud rumah itu di dalam pikirannya.<br />
<br />
Kemudian, seorang insinyur teknik sipil akan menterjemahkan gambar rancangan rumah itu ke dalam sebuah program pembangunan yang rapi: tahap demi tahap, bagian demi bagian, sampai akhirnya keseluruhan bangunan tersebut lengkap berdiri.<br />
<br />
***<br />
<br />
Memiliki rumah adalah salah satu ”obsesi” setiap keluarga. Dan ketika tiba saatnya untuk membangun rumah, kita akan berusaha untuk mencari arsitek terbaik, pemborong atau tukang terbaik, dan bahan bangunan terbaik yang bisa kita dapatkan. Mengapa? Karena kita ingin memperoleh <span style="font-style: italic;">the best building</span> untuk kita pakai dan kita tinggali dalam jangka waktu yang lama.<br />
<br />
Apakah kita memiliki kesungguhan yang sama untuk membangun ”rumah rohani” kita? Rumah rohani itu, hidup kita, adalah tempat kediaman Allah (1 Kor. 3:16); yang akan digunakanNya sebagai pusat puji-pujian dan penyembahan kepadaNya, serta akan dipakaiNya untuk menyalurkan berkat bagi dunia di sekitar kita. Bukan hanya untuk jangka waktu satu-dua atau belasan tahun, namun sampai kepada kekekalan.<br />
<br />
Apakah kita akan sembarangan saja di dalam membangunnya? Asal comot bahan, sibuk dengan hal-hal yang sepertinya ”hebat”, tetapi melalaikan pengajaran dan disiplin rohani yang esensial? Asal menjalankan rutinitas kegiatan, tanpa tujuan dan arah pertumbuhan yang jelas?<br />
<br />
Rasul Paulus mengingatkan bahwa ”pekerjaan masing-masing orang akan diuji ... jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah” (1 Kor. 3:13,14). Ketika ujian itu datang, ketika hujan dan badai itu turun; bagaimanakah nasib rumah kita? Tetap kokoh di atas batu karang? Ataukah akan hanyut terbawa banjir?Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1142215246682907082006-03-13T09:00:00.001+07:002011-09-04T09:17:11.215+07:00Rumah DukaHari Jumat lalu, saya pergi ke rumah duka. Ibu dari salah seorang teman meninggal, maka saya bersama beberapa kawan melayat ke sana. Ini adalah pengalaman pertama melayat di Australia. Beda sekali dengan suasana upacara pemakaman di Indonesia.<br />
<br />
Salah satu perbedaan yang menyolok adalah dalam hal pidato sambutan yang dilakukan. Di Indonesia, yang mengucapkan pidato sambutan adalah pak RT, pak Lurah, atasan di kantor, dan sebagainya. Isi pidatonya pun klise, itu-itu saja, dan sama tidak mempunya sentuhan pribadi. Maklum, yang berpidato mungkin tidak pernah mengenal orang yang meninggal.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Yang saya dengar hari ini, beberapa anggota keluarga membagikan perjalanan hidup almarhumah. Mereka menceritakan pengalaman mereka bersamanya dan bagaimana almarhumah telah menyentuh serta mempengaruhi hidup mereka. Begitu personal dan tidak "resmi" sama sekali.<br />
<br />
***<br />
<br />
Raja Salomo pernah menuliskan: "Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya" (Pengkhotbah 7:3). Saya jadi ingat kalimat yang sering diucapkan oleh Gembala di gereja saya: "Yang penting bukan start-nya, tetapi finish-nya."<br />
<br />
Di dalam Alkitab, dicatat ada dua pribadi yang berani berkata bahwa mereka sudah mencapai tujuan akhir ketika mereka meninggal. Pertama, Tuhan Yesus sendiri. Ketika tergantung di atas kayu salib, Ia berkata "Sudah selesai!" (Yohanes 19:30). Kedua, Rasul Paulus yang berkata: "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman" (2 Timotius 4:7).<br />
<br />
Ketika Tuhan Yesus memulai pelayananNya, Ia sudah jelas mengetahui tujuan hidupNya, yaitu: mati di atas kayu salib sebagai tebusan bagi dosa kita. Dan di dalam perjalanan menuju Golgota itu, selama 3 tahun penuh Ia mengisi kehidupanNya dengan kegiatan yang ditetapkan oleh BapaNya.<br />
<br />
Seluruh kehidupanNya terangkum di dalam ayat-ayat ini:<br />
<blockquote>"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang" (Lukas 4:18,19).</blockquote>Ketika Dia menghembuskan nafas terakhirnya di kayu salib, kita tahu, bahwa setiap tujuan yang dinubuatkan di dalam ayat-ayat itu telah dilakukanNya. Maka, Tuhan Yesus bisa dengan tegas mengatakan "Sudah selesai!".<br />
<br />
Demikian pula Rasul Paulus. Pada saat ia bertobat, Tuhan telah menyatakan dengan jelas apa tujuan Tuhan bagi hidupnya: menjadi pelayan dan saksi Tuhan Yesus yang diutus kepada bangsa-bangsa untuk memberitakan Injil sehingga bangsa-bangsa berbalik kepada Tuhan (Kisah Rasul 26:16-18).<br />
<br />
Kita tahu, Alkitab mencatat sepak terjang Rasul Paulus di dalam melakukan rencana Tuhan ini. Dan siapapun mengakui bahwa ia telah melakukan semua yang diinginkan Tuhan atasnya. Paulus pantas untuk berkata bahwa ia sudah menyelesaikan pertandingan dengan baik, dan tinggal menerima hadiahnya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Setiap kali saya pergi ke rumah duka, selalu saja pertanyaan ini muncul: Pada hari penguburan saya, apakah yang akan dikatakan orang tentang hidup saya? Apakah keluarga, teman-teman, dan siapapun yang mengenal saya bisa mengatakan hal-hal yang baik tentang saya?<br />
<br />
Namun, sebenarnya ada hal yang lebih penting untuk saya tanyakan: Pada hari saya dipanggil pulang, apakah yang akan dikatakan Tuhan tentang saya? Apakah saya sudah melewati garis akhir? Apakah saya sudah mencapai tujuanNya bagi saya?<br />
<br />
Kerinduan saya adalah, ketika saya pulang ke dalam kekekalan, Bapa saya akan berkata: "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia ... Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu".Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1141088644373813482006-02-28T07:58:00.001+07:002011-09-04T09:18:19.086+07:00Tinta "Ajaib" dan Sebatang PensilKetika saya menulis "The Mildura Accident" minggu lalu, saya hanya ingin membagikan apa yang muncul dalam hati saya. Satu hari setelah tulisan itu saya <span style="font-style: italic;">post</span>-kan, <a href="http://saungrino.blogspot.com/2006/02/in-memoriam.html">Rino</a> (teman yang dulu kuliah di Newcastle) membacanya. "Kebetulan" salah seorang anggota keluarganya baru saja meninggal dunia.<br />
<br />
Tulisan yang sederhana itu tiba-tiba saja memiliki arti yang lebih dalam bagi salah seorang pembacanya; tanpa saya tahu sebelumnya, tanpa pernah saya rencanakan.<br />
<br />
Apa yang terjadi kalau saya tidak pernah berani untuk menuliskannya dan mengirimkannya?<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Saya tidak merencanakan agar tulisan itu akan menyentuh hati orang lain. Saya tidak pernah tahu bahwa ada teman yang sedang kehilangan keluarga. Saya tidak mengira Tuhan bisa memakai tulisan itu untuk memberkati orang lain.<br />
<br />
Saya tidak tahu banyak hal, saya tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi. Namun, Tuhan tahu. Ia melihat segala sesuatu. Ia telah mengetahui "<span style="font-style: italic;">the big picture</span>", saya hanya melihat satu keping dari <span style="font-style: italic;">jigsaw puzzle</span> kehidupan ini.<br />
<br />
***<br />
<br />
Beberapa minggu lalu, seorang teman menceritakan kisah ini kepada saya.<br />
<br />
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-family: courier new;"></span></span><br />
<blockquote><span style="font-size: 85%;"><span style="font-family: verdana;">Bertahun-tahun yang lalu, Amerika Serikat dan Uni Soviet terlibat dalam perlombaan untuk menguasai ekspedisi ke luar angkasa (<span style="font-style: italic;">space race</span>).</span><br />
<br />
<span style="font-family: verdana;">Ilmuwan dan insinyur dari kedua negara tersebut terus-menerus berada di dalam kompetisi yang sangat ketat untuk menemukan terobosan teknolologi yang akan membuat negara mereka selangkah lebih mau dari negara saingannya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: verdana;">Salah satu bidang yang membuat pusing para ilmuwan NASA (lembaga antariksa AS) adalah: menemukan tinta yang bisa digunakan di ruang tanpa bobot di dalam pesawat luar angkasa. Puluhan bahkan ratusan ribu dollar dihabiskan untuk menemukan formula tinta "ajaib" tersebut. Ratusan bahkan ribuan jam dihabiskan untuk melakukan riset dan eksperimen.</span><br />
<br />
<span style="font-family: verdana;">Anda tahu apa yang dilakukan oleh Uni Soviet? Mereka menulis memakai pensil!</span><br />
</span></blockquote><br />
Seringkali, kita sibuk mencari-cari apa yang tidak ada; padahal apa yang kita butuhkan sebenarnya telah tersedia di depan mata.<br />
<br />
Banyak orang percaya yang tidak pernah berani melangkah untuk melakukan sesuatu oleh karena mereka terus-menerus merasa kurang, belum dewasa, tidak punya karunia, minim talenta, dan segudang alasan yang lain.<br />
<br />
Terlalu banyak orang yang menunggu agar ia lebih dulu "sempurna" sebelum mulai bekerja. Beberapa orang menghabiskan jam-jam doanya untuk meminta karunia-karunia Roh yang adi kodrati (<span style="font-style: italic;">supranatural</span>), karena berpikir bahwa tanpanya ia tidak akan pernah berguna.<br />
<br />
Kadang, kita begitu sibuk memikirkan hal-hal yang terlalu besar atau tinggi tentang diri kita. Apalagi, ketika kita mulai membandingkan diri dengan orang lain, yang di mata kita memiliki puluhan kelebihan yang tidak kita miliki.<br />
<br />
Kita ingin seperti dia, dan kita berpikir bahwa kita hanya akan berguna kalau kita pun memiliki semua kelebihan itu. Kita lupa untuk menilai diri kita "menurut ukuran iman yang dikaruniakan Allah kepada kita masing-masing" (Roma 12:3).<br />
<br />
Dalam perumpamaan tentang talenta (Matius 25:14-30), sang Tuan menunjukkan penghargaan yang persis sama kepada hamba yang memiliki 5 talenta maupun 2 talenta. Ia menghargai mereka bukan berdasar berapa talenta yang mula-mula mereka miliki, namun berdasar apa yang mereka lakukan dengan talenta itu.<br />
<br />
Kalau saja hamba dengan 1 talenta itu mau bekerja mengembangkan talentanya, pastilah ia akan mendapat penghargaan yang sama dari sang Tuan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Kita tidak perlu menunggu lagi. Kita bisa mulai bergerak sekarang, dengan apa yang kita punya, dengan apa yang kita bisa. Keluar dari kotak egoisme, lepas dari belengu rasa rendah diri. Memperhatikan orang lain, melakukan sesuatu; sekalipun sederhana dan kelihatannya tidak berarti apa-apa.<br />
<br />
Kita tidak pernah tahu berkat macam apa yang diterima orang lain dari tindakan kita yang paling sederhana. Tapi Tuhan tahu.<br />
<br />
Saya meyakini prinsip "siapa mempunyai, ia akan diberi" (Matius 25:29). Kalau kita berani mulai melakukan sesuatu, dengan hati tulus dan nurani yang murni, maka Tuhan yang akan menambahkan kemampuan, talenta, karunia, dan entah apa lagi namanya, untuk makin melengkapi kita.<br />
<br />
Dan jangan kaget, kalau kita setia melakukannya, kita akan mendapati bahwa Tuhan mulai mempertajam kepekaan hati kita kepada keadaan orang lain; sampai-sampai kita seolah-olah bisa "meramalkan" kebutuhan orang. Sehingga ketika kita melakukan atau mengatakan sesuatu, sesuatu itu begitu "tepat" memenuhi kebutuhan orang lain.<br />
<br />
Jangan menghabiskan waktu untuk menemukan tinta ajaib. Ambillah pensil yang sekarang tergeletak di atas meja.Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1140992326732001862006-02-27T05:12:00.001+07:002011-09-04T09:20:15.642+07:00Name Dropping<span style="font-family: verdana;"></span>Dalam sebuah kebaktian hari Minggu, ada beberapa tamu dari Jakarta berkunjung ke salah satu gereja di luar negeri. Seperti biasa, anggota jemaat pun berkenalan dengan mereka, atau lebih tepatnya: dikenalkan dengan mereka.<br />
<br />
Kebetulan, ada salah seorang anggota jemaat di gereja itu yang memiliki hubungan famili dengan salah satu tokoh Nasional (walau sudah mantan) di Indonesia. Nah, seperti lazimnya kebiasaan orang Indonesia, ketika anggota jemaat ini diperkenalkan, tidak lupa (dengan berbisik-bisik, tentunya) sang pembawa tamu berkata: "Mas ini adalah keponakan dari...".<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Hanya dalam hitungan detik, status si Mas tersebut naik beberapa level. Yang semula "hanya" dipandang sebagai mahasiswa biasa, sekarang menjadi mahasiswa plus keponakan dari Bapak Anu.<br />
<br />
***<br />
<br />
Saya mencari istilah dalam bahasa Indonesia yang mewakili praktek pendongkrakan status ini, tapi nggak ketemu. Dalam bahasa Inggris, praktek ini punya sebutan tersendiri, yaitu <span style="font-style: italic;">name dropping</span>.<br />
<br />
Sebuah kamus mendefinisikan <span style="font-style: italic;">name dropping</span> sebagai: <span style="font-style: italic;">the practice of casually mentioning important people in order to impress your listener</span>. Menyebut nama orang penting dalam rangka membuat orang lain terkesan kepada kita.<br />
<br />
Celakanya, praktek ini selalu berkonotasi negatif. Apalagi di Indonesia, yang ikatan kekeluargaan masih sangat kental. Nama orang penting adalah aset yang sakti, kadang lebih sakti daripada kekayaan, dan jelas sudah terbukti lebih sakti daripada gelar akademik.<br />
<br />
Oh ... saya tidak sedang mengatakan bahwa bapak yang memperkenalkan si Mas tadi berniat buruk, lho. Sama sekali tidak. Saya tahu pasti hati beliau sama sekali bersih dari motivasi atau niat buruk. Saya mengerti bahwa tidakan beliau dalam rangka menunjukkan penghargaan beliau kepada si Mas.<br />
<br />
Tetapi, pada kenyataan hidup sehari-hari, praktek <span style="font-style: italic;">name dropping</span> sering dipakai untuk menipu atau memeras orang. Sudah tak terhitung berapa banyak orang yang mengaku sebagai keluarga pejabat (entah keluarga betulan atau jadi-jadian), menggunakan hubungan kekerabatan itu untuk mencari keuntungan pribadi.<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">Name-dropper</span> profesional menggunakan praktek ini untuk menguras uang atau memenangkan proyek, sedang yang amatiran "cuma" untuk menaikkan status agar orang tahu bahwa dia bukanlah orang sembarangan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Ada salah satu penulis buku di Alkitab, yang sebenarnya bisa melakukan praktek <span style="font-style: italic;">name dropping </span>untuk menaikkan statusnya. Namanya: Yakobus atau James dalam bahasa Inggris. Dia sama sekali bukan orang sembarangan, sebab dia adalah saudara laki-laki Tuhan Yesus (anak dari pasangan Yusuf dan Maria).<br />
<br />
Bayangkan, menjadi saudara laki-laki dari Raja segala raja dan Tuan segala tuan! Kalau saja Yakobus ini butuh untuk menaikkan statusnya, dia cukup bilang: "Kenal Tuhan Yesus nggak? Saya saudara kandung-Nya, lho..."<br />
<br />
Tidak hanya itu, Yakobus adalah seorang tokoh yang sangat berpengaruh di kalangan Gereja mula-mula; sampai-sampai Rasul Paulus menyebutkan ada sekelompok jemaat yang merupakan "kalangan Yakobus" (Galatia 2:9). Ini menunjukkan bahwa Yakobus memiliki massa yang cukup banyak.<br />
<br />
Tetapi, ketika menulis suratnya, Yakobus memperkenalkan diri dengan cara: "Salam dari Yakobus, hamba Allah dan Tuhan Yesus Kristus, kepada keduabelas suku di perantauan." (Yakobus 1:1). Begitu bersahaja, begitu <span style="font-style: italic;">low profile</span>, begitu rendah hati. Yakobus tahu, bahwa bukan hubungan darah yang menentukan dekat-tidaknya seseorang dengan Tuhan Yesus.<br />
<br />
Mungkin, dia selalu teringat sebuah peristiwa di masa lalu; ketika ia masih belum percaya bahwa Tuhan Yesus adalah Mesias. Saat itu, keluarga-Nya hendak membawa-Nya pulang, karena mengira Tuhan Yesus sudah tidak waras (Markus 3:21). Ketika mereka menemukan Tuhan Yesus, mereka menunggu di luar dan menyuruh orang untuk memanggil-Nya (Markus 3:31).<br />
<br />
Respon Tuhan Yesus: "Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku? ... Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku." (Markus 3:33,35).<br />
<br />
Bukan hubungan kekeluargaan yang penting, tetapi komitmen dan ketaatan pribadi kepada Tuhan lah yang menentukan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Saya jadi ingat sebuah cerita yang lain: tentang seorang jenderal di Indonesia. Pada waktu ia masih militer aktif, semua anggota keluarga besar yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya selalu membawa kartu nama sang jenderal di dalam dompet mereka. Setiap kali mereka melanggar aturan lalu lintas, mereka selalu lolos dari hukuman atau denda. Caranya gampang: cukup tunjukkan kartu nama itu, maka tak satupun polisi di Indonesia ini yang berani untuk menilang mereka.<br />
<br />
Kalau kita memiliki komitmen dan ketaatan yang jelas kepada TuhanYesus, kita disebut-Nya sebagai saudara-Nya laki-laki, saudara-Nya perempuan, atau ibu-Nya. Maka, di dompet kita akan selalu ada selembar kartu nama. Bukan kartu nama jenderal, bukan kartu nama menteri, bukan kartu nama konglomerat, tetapi kartu nama Raja atas segala raja dan Tuan atas segala tuan.<br />
<br />
Dan kalau kartu namaTuhan Yesus yang kita keluarkan, adakah pintu yang akan tertutup selamanya? Adakah laut yang tak terseberangi? Adakah kuasa yang sanggup menghalangi? Adakah yang mustahil bagi NamaNya? Yohanes 16:24 mencatat: "Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun <span style="font-weight: bold;">dalam nama-Ku</span>. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu."<br />
<br />
Nah, kalau suatu kali kita perlu melakukan <span style="font-style: italic;">name dropping</span>, jangan sebut nama yang lain, tetapi hanya satu nama saja: Nama Tuhan Yesus.Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1140737806079947852006-02-24T06:34:00.001+07:002011-09-04T09:20:48.598+07:00The Mildura Accident<div class="MsoNormal"><span lang="FI" style="font-family: Georgia;">Minggu ke-3 Februari 2006, media massa Australia dipenuhi dengan berita pemakaman 5 remaja yang menjadi korban tabrak lari di Mildura. Tanggal 18 Februari 2006 jam 9.50 malam, serombongan remaja pergi menghadiri sebuah pesta ulang tahun. Sebuah mobil berkecepatan tinggi menabrak mereka, akibatnya 5 remaja meninggal dan 8 lainnya luka-luka.<br />
</span></div><div class="MsoNormal"></div><a name='more'></a>Acara pemakaman yang menyayat hati itu diliput oleh semua media massa Australia. Berulang-ulang, gambar keluarga dan teman-teman yang menangisi kepergian ke-5 remaja itu ditayangkan oleh setiap stasiun televisi.<br />
<br />
<div class="MsoNormal">Di dalam kebaktian pemakaman tersebut, banyak orang maju ke mimbar untuk mengatakan kalimat-kalimat penghiburan. Kebanyakan dari mereka menceritakan kenangan manis yang mereka miliki selama ke-5 remaja itu masih hidup. Mereka menyebutkan betapa anak-anak itu adalah pribadi yang menyenangkan, berwatak baik, dan sebagainya. Tak ada satupun orang yang berkomentar buruk atau yang menceritakan pengalaman yang tak menyenangkan bersama anak-anak remaja tersebut. <span lang="FI" style="font-family: Georgia;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="FI" style="font-family: Georgia;">***<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="FI" style="font-family: Georgia;"><o:p></o:p>Hercule Poirot—tokoh detektif dalam novel Agatha Christie—pernah berkata: ”Aku ingin ketemu dengan seseorang yang belum tahu bahwa si korban sudah meninggal”. Ketika ditanya mengapa, Poirot menjawab: ”Untuk mengetahui kebenaran. </span><span style="font-family: Georgia;">Sebab, biasanya orang hanya mengatakan hal-hal yang baik tentang seseorang yang sudah meninggal.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: Georgia;"><o:p></o:p>Komentar itu ada benarnya. Kita cenderung untuk mengingat hanya hal-hal yang baik dari kenalan atau keluarga yang telah meninggal. Kita berusaha “memaafkan” dan melupakan pengalaman buruk atau kenangan pahit bersama orang itu, dan mengabadikan peristiwa yang menyenangkan dengannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="FI" style="font-family: Georgia;"><o:p></o:p>Tanpa sadar, kita pun melakukannya kepada orang yang mungkin sangat jahat kepada kita ketika dia masih hidup. Kita akan berkata: ”Dia tidak seluruhnya jahat. Ada banyak hal-hal yang baik di dalam dirinya.” Padahal, semasa dia hidup, kita tidak mampu mengeluarkan satu pun komentar positif tentangnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="FI" style="font-family: Georgia;"><o:p></o:p>Mengapa kita baru bisa menghargai sesuatu atau seseorang ketika sesuatu atau seseorang itu sudah tidak ada lagi? Mengapa kita baru bisa melihat kebaikan seseorang atau sesuatu setelah kita kehilangan mereka?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="FI" style="font-family: Georgia;"><o:p></o:p>***<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="FI" style="font-family: Georgia;"><o:p></o:p>Saya sangat suka membaca. Kalau saja mungkin (dan kadang-kadang saya lakukan juga), saya ingin menghabiskan satu hari penuh untuk tinggal di tempat yang tenang dan membaca—hanya membaca. Ketika masih di Solo, beberapa kali saya ditegur Rut: ”Kalau anak-anak masih bangun, mbok jangan membaca. Mainlah bersama mereka. Kamu bisa membaca nanti kalau mereka sudah tidur.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="FI" style="font-family: Georgia;"><o:p></o:p>Saya diingatkan bahwa mereka, anak-anak saya, hanya sebentar saja akan bersama-sama dengan saya. Ketika mereka menginjak usia SMP atau SMA, mungkin mereka sudah malu dan malas untuk bermain bersama saya—mereka akan sudah punya dunia sendiri. Dan itu tinggal beberapa tahun lagi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="FI" style="font-family: Georgia;"><o:p></o:p>Ketika saya masih tinggal bersama-sama mereka, kadang saya kurang menghargai waktu untuk menemani mereka; karena saya sibuk dengan pekerjaan atau asyik dengan hobby saya sendiri. Sekarang, setelah terpisah cukup lama; baru terasa betapa berharganya waktu-waktu itu. Kadang saya ”menyesali” keterpisahan saya dengan mereka: tidak bisa mendengar kata pertama yang terucap, tidak bisa melihat gigi pertama tumbuh, tidak bisa menyaksikan jatuh bangunnya ketika belajar berjalan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="FI" style="font-family: Georgia;"><o:p></o:p>***<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="FI" style="font-family: Georgia;"><o:p></o:p>Rasul Yohanes pernah menulis: “Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia” (Yohanes 1:16). </span><span style="font-family: Georgia;">Alkitab versi NIV mencatatnya demikian: ”<span style="font-style: italic;">From the fullness of His grace we have all received one blessing after another</span>.” Nabi Yeremia berkata: “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya; selalu baru tiap pagi, besar kesetiaan-Mu” (Ratapan </span><st1:time hour="15" minute="22"><span style="font-family: Georgia;">3:22</span></st1:time><span style="font-family: Georgia;">-23).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: Georgia;"><o:p></o:p>Mumpung masih bisa menikmatinya setiap hari, mari belajar untuk menghargai setiap kebaikan dan berkat yang kita terima.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="FI" style="font-family: Georgia;"><o:p></o:p>Udara segar pagi yang memenuhi paru-paru kita. Tubuh yang sehat untuk menyapu lantai toko atau berjalan mengantar pamplet. Mobil yang langsung menyala ketika kunci kita putar. Rumah yang melindungi kita dari panas dan hujan. Bau nasi hangat di pagi hari. Aroma kopi panas di meja makan. </span><span style="font-family: Georgia;">Celoteh anak-anak yang bermain. Waktu mengobrol dengan pasangan hidup. Saat tertawa bersama teman-teman dekat.<o:p><br />
</o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: Georgia;"><span style="font-style: italic;">All of them--no matter how small or simple--are the most precious blessings. Never take them for granted</span>. Hargai semua itu, bersyukurlah untuknya setiap hari. </span><span lang="FI" style="font-family: Georgia;">Jangan menunggu sampai kita kehilangan, untuk kita baru bisa menghargainya. Jangan sampai terlambat.<o:p></o:p></span></div>Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1140737638792489082006-02-24T06:33:00.001+07:002011-09-04T09:24:18.216+07:00Sang Akuntan dan Tim Pencari FaktaSuatu hari, setelah sepanjang hari berkhotbah, Tuhan Yesus melihat bahwa hari mulai sore dan Ia tahu bahwa ribuan orang yang mendengarkan khotbahnya belum makan sama sekali. Maka, Tuhan Yesus memutuskan untuk memberi mereka makan.<br />
<br />
"Di mana kita bisa membeli roti untuk mereka?" tanyaNya kepada Filipus.<br />
<br />
Rupanya, Filipus ini pandai matematika. Bagai seorang akuntan, ia dengan cepat melakukan kalkulasi di luar kepala dan menjawab, "Wah... uang 8 bulan gaji pun tidak akan cukup untuk memberi mereka satu gigit roti!"<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Murid yang lain, yaitu Andreas, memberikan respon yang berbeda. Bagai seorang anggota Tim Pencari Fakta, dia langsung pergi ke tengah-tengah orang banyak. Mungkin dia menanyai satu per satu atau memeriksa barang bawaan mereka. Dan ia bertemu dengan seorang anak yang membawa bekal makanan. Dan entah bagaimana caranya, ia berhasil membujuk anak itu agar mau menyerahkan bekalnya.<br />
<br />
"Ini ada anak yang membawa makanan. Tapi cuma 5 roti dan 2 ikan. Mana cukup untuk sekian banyak orang?" lapor Andreas kepada Tuhan Yesus.<br />
<br />
Kita semua tahu apa yang kemudian terjadi. Tuhan Yesus memberkati ke 5 roti dan ke 2 ikan itu, memerintahkan murid-murid untuk membagikannya kepada orang banyak. Mereka semua makan sampai kenyang, dan sisanya 12 keranjang.<br />
<br />
***<br />
<br />
Saya terkesan dengan respon kedua murid Tuhan Yesus, Filipus dan Andreas, ketika mereka menghadapi sebuah krisis dalam hidup mereka. Masing-masing memiliki respon yang berbeda. Dan sepertinya, kedua respon tersebut mewakili respon dari kebanyakan kita di dalam menghadapi krisis di dalam hidup kita.<br />
<br />
Ketika sebuah krisis besar terjadi (krisis itu bisa berupa masalah yang harus diselesaikan atau kebutuhan yang harus dipenuhi), sebagian orang bereaksi seperti Filipus: melakukan kalkulasi, menghitung, membayangkan, membuat estimasi, dan segala macam aktivitas mental lainnya—yang akhirnya sampai kepada kesimpulan: <u>krisis ini terlalu besar dan mustahil untuk diatasi</u>.<br />
<br />
Sebagian orang memiliki respon seperti Andreas: tidak hanya diam dan membayangkan besarnya persoalan, namun mulai bergerak maju untuk melakukan sesuatu, mencari alternatif dan mencobanya satu per satu. Dan ketika mendapati betapa powerless-nya usaha itu bila dibandingkan dengan krisis yang harus dihadapi, ia pun sampai kepada kesimpulan yang sama: <u>krisis ini terlalu besar dan mustahil untuk diatasi</u>.<br />
<br />
***<br />
<br />
Respon seperti di atas akan terlihat jelas, pada saat orang belajar untuk memberikan perpuluhan. Ketika orang mengetahui bahwa Firman Tuhan memerintahkan agar kita memberikan 10% dari penghasilan kita (lihat Maleakhi 3:10), ada dua respon yang biasanya muncul.<br />
<br />
<u>Respon pertama: orang melakukan kalkulasi</u>. Pemasukan: uang bea siswa sebulan sekian, gaji sebagai kitchen-hand sekian, upah mengantar pamplet sekian. Kemudian pengeluaran: sewa rumah sekian, bahan makanan sekian, listrik dan telepon sekian, bensin dan perawatan mobil sekian, dan untuk sekolah anak-anak sekian. Kesimpulannya: "Lha wong 100% gaji saja cuma pas-pasan, dan bahkan mungkin kurang... apalagi kalau harus dipotong 10%."<br />
<br />
Komentar ini sangat sering terdengar, apalagi di Indonesia, di kalangan jemaat Tuhan yang bekerja sebagai pegawai negeri biasa (terutama dosen golongan III/a seperti saya, he-he-he). Dengan pemikiran seperti itu, orang tidak berani memberikan persembahan sesuai Firman Tuhan.<br />
<br />
<u>Respon kedua: orang mau mencoba</u>. Begitu terima gaji, dengan tekad bulat, ia menyisihkan 10% untuk persembahan. Dan sambil menunggu waktu untuk memberikannya besok hari Minggu, persembahan itu disimpan dulu (entah di bawah bantal, di dalam celengan Jago, atau dimasukkan tabungan di bank).<br />
<br />
Namun, ketika waktu mulai berjalan, kebutuhan hidup bermunculan, dan bahkan mungkin ada pengeluaran-pengeluaran tak terduga; kekuatiran mulai datang—dan puncaknya adalah: uang persembahan yang masih tersimpan tadi "dipinjam" lagi untuk membayar ini dan itu. Hasil akhirnya sama saja: kita tidak jadi memberikan sesuai dengan Firman Tuhan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Ah, kalau saja kita cukup berani untuk mempercayai janji Tuhan. Kalau saja kita benar-benar mengenal Allah yang kaya itu. Kalau saja kita sadar bahwa kita tidak akan pernah bisa menghutangi Tuhan. Kalau saja kita berani beriman dan taat kepada perintahNya. Di akhir bulan, kita tidak akan mendapati angka minus pada anggaran kita; namun justru sibuk mengumpulkan potongan roti dan ikan itu sampai 12 keranjang penuh.Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22923088.post-1140737567152126352006-02-24T06:31:00.001+07:002011-09-04T09:24:42.473+07:00Andalan yang Dihancurkan TuhanPada salah satu khotbah dalam ibadah Minggu, Pendeta kami mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa kita diijinkan mengalami pergumulan adalah: Tuhan ingin menghancurkan andalan kita, sehingga kita hanya bergantung kepadaNya saja.<br />
<br />
Memikirkan kembali khotbah tersebut, saya jadi teringat kepada perjalanan hidup Yusuf--anak kesayangan Yakub. Saya melihat, Tuhan melakukan hal yang sama kepadanya: mengijinkan penderitaan dan pergumulan datang supaya Yusuf bergantung mutlak kepada Tuhan saja, dan tidak mengandalkan apapun juga.<br />
<br />
Apa saja yang selama ini menjadi andalan Yusuf?<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Yusuf adalah anak emas Yakub (Kejadian 37:1-36), dia mendapat perlakuan yang sangat istimewa bila dibandingkan dengan ke-11 saudaranya yang lain. Selama Yusuf berada di dalam perlindungan Yakub, tak ada satupun orang yang bisa menyentuhnya. Maka, Tuhan mengijinkan Yusuf untuk dipisahkan dari ayahnya. Saudara-saudaranya mulai iri hati, dan akhirnya menjualnya menjadi budak. Yusuf kehilangan andalannya yang pertama: perlindungan ayahnya.<br />
<br />
Di Mesir, Yusuf bekerja sebagai budak di rumah Potifar. Ia adalah seorang yang rajin dan Tuhan memberkati pekerjaannya, sehingga karirnya terus menanjak, sampai akhirnya ia menjadi kepala rumah tangga di kediaman Potifar. Semua kekuasaan di rumah tangga itu diserahkan kepada Yusuf.<br />
<br />
Mungkin, Yusuf mulai merasa nyaman dengan prestasinya; maka Tuhan mengijinkan sebuah persoalan menimpanya. Ia difitnah oleh istri Potifar, sehingga akhirnya ia dilemparkan ke dalam penjara (Kejadian 39:1-23). Yusuf kehilangan andalannya yang kedua: prestasi kerja.<br />
<br />
Di dalam penjara, Yusuf bertemu Juru Makanan dan Juru Minuman yang dituduh mencoba membunuh Firaun. Yusuf menafsirkan mimpi mereka. Dan ia titip pesan kepada Juru Minuman, supaya kalau nanti dia sudah dibebaskan oleh Firaun, dia mengadukan kasus Yusuf kepada Firaun sebagai balas jasa. Tafsiran mimpi Yusuf menjadi kenyataan. Juru Minuman dibebaskan.<br />
<br />
Namun, setelah bebas, Juru Minuman lupa kepada Yusuf. Mungkin hari demi hari, Yusuf menunggu berita darinya--dan tak pernah ada kabar apapun. Tuhan mengijinkan Yusuf untuk kecewa, Ia mengambil andalannya yang ketiga: jasa baik kepada orang lain.<br />
<br />
Dua tahun penuh berlalu semenjak Juru Minuman itu dibebaskan, Firaun mendapat mimpi. Baru saat itulah sang Juru Minuman teringat kepada Yusuf. Mungkin saat itu, Yusuf sudah melepaskan semua harapannya untuk bebas dari penjara.<br />
<br />
Ketika Yusuf sudah kehilangan semua bisa menjadi andalannya, ketika Yusuf sudah tidak punya pengharapan dan tempat bergantung lagi kecuali kepada Tuhan, saat itulah Tuhan menyatakan diri. Dalam waktu 1 malam, Yusuf diangkat statusnya dari seorang narapidana menjadi seorang Perdana Menteri.<br />
<br />
Terlalu mudah bagi Tuhan untuk melepaskan kita dari masalah kiti. Terlalu gampang bagiNya untuk memberikan apa yang kita inginkan. Namun, bagi Tuhan, yang paling penting adalah: perubahan karakter kita, supaya kita hanya mengandalkan Dia.<br />
<br />
Ketika kita sudah putus asa, ketika kita sudah tidak tahu lagi kepada harus berlari minta tolong, ketika semua usaha kita sepertinya selalu menabrak tembok. Saat itu, kalau kita sadar untuk berpaling kepada Tuhan dan hanya bergantung kepadaNya; saat itulah kita akan melihat pernyataan kuasa dan kasihNya.Hasthttp://www.blogger.com/profile/11410515009330535614noreply@blogger.com0