Sang Akuntan dan Tim Pencari Fakta
Suatu hari, setelah sepanjang hari berkhotbah, Tuhan Yesus melihat bahwa hari mulai sore dan Ia tahu bahwa ribuan orang yang mendengarkan khotbahnya belum makan sama sekali. Maka, Tuhan Yesus memutuskan untuk memberi mereka makan.
"Di mana kita bisa membeli roti untuk mereka?" tanyaNya kepada Filipus.
Rupanya, Filipus ini pandai matematika. Bagai seorang akuntan, ia dengan cepat melakukan kalkulasi di luar kepala dan menjawab, "Wah... uang 8 bulan gaji pun tidak akan cukup untuk memberi mereka satu gigit roti!"
Murid yang lain, yaitu Andreas, memberikan respon yang berbeda. Bagai seorang anggota Tim Pencari Fakta, dia langsung pergi ke tengah-tengah orang banyak. Mungkin dia menanyai satu per satu atau memeriksa barang bawaan mereka. Dan ia bertemu dengan seorang anak yang membawa bekal makanan. Dan entah bagaimana caranya, ia berhasil membujuk anak itu agar mau menyerahkan bekalnya.
"Ini ada anak yang membawa makanan. Tapi cuma 5 roti dan 2 ikan. Mana cukup untuk sekian banyak orang?" lapor Andreas kepada Tuhan Yesus.
Kita semua tahu apa yang kemudian terjadi. Tuhan Yesus memberkati ke 5 roti dan ke 2 ikan itu, memerintahkan murid-murid untuk membagikannya kepada orang banyak. Mereka semua makan sampai kenyang, dan sisanya 12 keranjang.
***
Saya terkesan dengan respon kedua murid Tuhan Yesus, Filipus dan Andreas, ketika mereka menghadapi sebuah krisis dalam hidup mereka. Masing-masing memiliki respon yang berbeda. Dan sepertinya, kedua respon tersebut mewakili respon dari kebanyakan kita di dalam menghadapi krisis di dalam hidup kita.
Ketika sebuah krisis besar terjadi (krisis itu bisa berupa masalah yang harus diselesaikan atau kebutuhan yang harus dipenuhi), sebagian orang bereaksi seperti Filipus: melakukan kalkulasi, menghitung, membayangkan, membuat estimasi, dan segala macam aktivitas mental lainnya—yang akhirnya sampai kepada kesimpulan: krisis ini terlalu besar dan mustahil untuk diatasi.
Sebagian orang memiliki respon seperti Andreas: tidak hanya diam dan membayangkan besarnya persoalan, namun mulai bergerak maju untuk melakukan sesuatu, mencari alternatif dan mencobanya satu per satu. Dan ketika mendapati betapa powerless-nya usaha itu bila dibandingkan dengan krisis yang harus dihadapi, ia pun sampai kepada kesimpulan yang sama: krisis ini terlalu besar dan mustahil untuk diatasi.
***
Respon seperti di atas akan terlihat jelas, pada saat orang belajar untuk memberikan perpuluhan. Ketika orang mengetahui bahwa Firman Tuhan memerintahkan agar kita memberikan 10% dari penghasilan kita (lihat Maleakhi 3:10), ada dua respon yang biasanya muncul.
Respon pertama: orang melakukan kalkulasi. Pemasukan: uang bea siswa sebulan sekian, gaji sebagai kitchen-hand sekian, upah mengantar pamplet sekian. Kemudian pengeluaran: sewa rumah sekian, bahan makanan sekian, listrik dan telepon sekian, bensin dan perawatan mobil sekian, dan untuk sekolah anak-anak sekian. Kesimpulannya: "Lha wong 100% gaji saja cuma pas-pasan, dan bahkan mungkin kurang... apalagi kalau harus dipotong 10%."
Komentar ini sangat sering terdengar, apalagi di Indonesia, di kalangan jemaat Tuhan yang bekerja sebagai pegawai negeri biasa (terutama dosen golongan III/a seperti saya, he-he-he). Dengan pemikiran seperti itu, orang tidak berani memberikan persembahan sesuai Firman Tuhan.
Respon kedua: orang mau mencoba. Begitu terima gaji, dengan tekad bulat, ia menyisihkan 10% untuk persembahan. Dan sambil menunggu waktu untuk memberikannya besok hari Minggu, persembahan itu disimpan dulu (entah di bawah bantal, di dalam celengan Jago, atau dimasukkan tabungan di bank).
Namun, ketika waktu mulai berjalan, kebutuhan hidup bermunculan, dan bahkan mungkin ada pengeluaran-pengeluaran tak terduga; kekuatiran mulai datang—dan puncaknya adalah: uang persembahan yang masih tersimpan tadi "dipinjam" lagi untuk membayar ini dan itu. Hasil akhirnya sama saja: kita tidak jadi memberikan sesuai dengan Firman Tuhan.
***
Ah, kalau saja kita cukup berani untuk mempercayai janji Tuhan. Kalau saja kita benar-benar mengenal Allah yang kaya itu. Kalau saja kita sadar bahwa kita tidak akan pernah bisa menghutangi Tuhan. Kalau saja kita berani beriman dan taat kepada perintahNya. Di akhir bulan, kita tidak akan mendapati angka minus pada anggaran kita; namun justru sibuk mengumpulkan potongan roti dan ikan itu sampai 12 keranjang penuh.
"Di mana kita bisa membeli roti untuk mereka?" tanyaNya kepada Filipus.
Rupanya, Filipus ini pandai matematika. Bagai seorang akuntan, ia dengan cepat melakukan kalkulasi di luar kepala dan menjawab, "Wah... uang 8 bulan gaji pun tidak akan cukup untuk memberi mereka satu gigit roti!"
Murid yang lain, yaitu Andreas, memberikan respon yang berbeda. Bagai seorang anggota Tim Pencari Fakta, dia langsung pergi ke tengah-tengah orang banyak. Mungkin dia menanyai satu per satu atau memeriksa barang bawaan mereka. Dan ia bertemu dengan seorang anak yang membawa bekal makanan. Dan entah bagaimana caranya, ia berhasil membujuk anak itu agar mau menyerahkan bekalnya.
"Ini ada anak yang membawa makanan. Tapi cuma 5 roti dan 2 ikan. Mana cukup untuk sekian banyak orang?" lapor Andreas kepada Tuhan Yesus.
Kita semua tahu apa yang kemudian terjadi. Tuhan Yesus memberkati ke 5 roti dan ke 2 ikan itu, memerintahkan murid-murid untuk membagikannya kepada orang banyak. Mereka semua makan sampai kenyang, dan sisanya 12 keranjang.
***
Saya terkesan dengan respon kedua murid Tuhan Yesus, Filipus dan Andreas, ketika mereka menghadapi sebuah krisis dalam hidup mereka. Masing-masing memiliki respon yang berbeda. Dan sepertinya, kedua respon tersebut mewakili respon dari kebanyakan kita di dalam menghadapi krisis di dalam hidup kita.
Ketika sebuah krisis besar terjadi (krisis itu bisa berupa masalah yang harus diselesaikan atau kebutuhan yang harus dipenuhi), sebagian orang bereaksi seperti Filipus: melakukan kalkulasi, menghitung, membayangkan, membuat estimasi, dan segala macam aktivitas mental lainnya—yang akhirnya sampai kepada kesimpulan: krisis ini terlalu besar dan mustahil untuk diatasi.
Sebagian orang memiliki respon seperti Andreas: tidak hanya diam dan membayangkan besarnya persoalan, namun mulai bergerak maju untuk melakukan sesuatu, mencari alternatif dan mencobanya satu per satu. Dan ketika mendapati betapa powerless-nya usaha itu bila dibandingkan dengan krisis yang harus dihadapi, ia pun sampai kepada kesimpulan yang sama: krisis ini terlalu besar dan mustahil untuk diatasi.
***
Respon seperti di atas akan terlihat jelas, pada saat orang belajar untuk memberikan perpuluhan. Ketika orang mengetahui bahwa Firman Tuhan memerintahkan agar kita memberikan 10% dari penghasilan kita (lihat Maleakhi 3:10), ada dua respon yang biasanya muncul.
Respon pertama: orang melakukan kalkulasi. Pemasukan: uang bea siswa sebulan sekian, gaji sebagai kitchen-hand sekian, upah mengantar pamplet sekian. Kemudian pengeluaran: sewa rumah sekian, bahan makanan sekian, listrik dan telepon sekian, bensin dan perawatan mobil sekian, dan untuk sekolah anak-anak sekian. Kesimpulannya: "Lha wong 100% gaji saja cuma pas-pasan, dan bahkan mungkin kurang... apalagi kalau harus dipotong 10%."
Komentar ini sangat sering terdengar, apalagi di Indonesia, di kalangan jemaat Tuhan yang bekerja sebagai pegawai negeri biasa (terutama dosen golongan III/a seperti saya, he-he-he). Dengan pemikiran seperti itu, orang tidak berani memberikan persembahan sesuai Firman Tuhan.
Respon kedua: orang mau mencoba. Begitu terima gaji, dengan tekad bulat, ia menyisihkan 10% untuk persembahan. Dan sambil menunggu waktu untuk memberikannya besok hari Minggu, persembahan itu disimpan dulu (entah di bawah bantal, di dalam celengan Jago, atau dimasukkan tabungan di bank).
Namun, ketika waktu mulai berjalan, kebutuhan hidup bermunculan, dan bahkan mungkin ada pengeluaran-pengeluaran tak terduga; kekuatiran mulai datang—dan puncaknya adalah: uang persembahan yang masih tersimpan tadi "dipinjam" lagi untuk membayar ini dan itu. Hasil akhirnya sama saja: kita tidak jadi memberikan sesuai dengan Firman Tuhan.
***
Ah, kalau saja kita cukup berani untuk mempercayai janji Tuhan. Kalau saja kita benar-benar mengenal Allah yang kaya itu. Kalau saja kita sadar bahwa kita tidak akan pernah bisa menghutangi Tuhan. Kalau saja kita berani beriman dan taat kepada perintahNya. Di akhir bulan, kita tidak akan mendapati angka minus pada anggaran kita; namun justru sibuk mengumpulkan potongan roti dan ikan itu sampai 12 keranjang penuh.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home