Thursday, September 01, 2011

Kesempatan yang Hilang

Kita mungkin pernah mengalami hal ini: sebuah peluang muncul, dan kita gagal untuk menangkapnya. Kadang-kadang, kegagalan itu disebabkan karena kita tidak tahu atau tidak bisa melihat bahwa ada sebuah peluang muncul di depan mata kita. Yang lebih sering terjadi adalah: kita melihatnya, namun—entah karena tidak percaya, kurang berani, atau enggan untuk membayar harganya—kita memilih untuk tidak menangkapnya.


Ketika Tuhan Yesus berada dalam perjalanan menuju Yerusalem—dengan menunggang keledai muda, diiringi sorak-sorai orang banyak yang menyambutnya dengan hamparan pakaian di tanah dan lambaian daun palem di udara, Ia memandang Yerusalem dan menangisi kota itu, kata-Nya (Lukas 19:42-44):
"Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu. Sebab akan datang harinya, bahwa musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan, dan mereka akan membinasakan engkau beserta dengan pendudukmu dan pada tembokmu mereka tidak akan membiarkan satu batupun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat, bilamana Allah melawat engkau."
Di tengah-tengah kegembiraan dan suasana perayaan, Tuhan Yesus menitikkan air mata—sebab Ia melihat keadaan yang sesungguhnya serta nasib yang menunggu Kota Yerusalem beserta seluruh penduduknya, yaitu: kehancuran total. Ia meratapi penduduk kota itu karena mereka tidak mengerti, tidak melihat, dan tidak mengetahui anugerah keselamatan Allah yang sedang ditawarkan kepada mereka. Ketidaktahuan dan ketidakmauan untuk menerima dan menanggapi lawatan Allah itu menjadi penyebab kehancuran hidup mereka.

Penulis Kitab Ibrani pernah menuliskan “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!” (Ibrani 3:8,15). Referensi yang digunakan sang penulis adalah pengalaman masa lalu bangsa Israel yang seklipun telah berkali-kali melihat pernyataan dan kuasa Tuhan, mereka tetap berkeras hati, berontak, dan tidak mau menundukkan diri kepada Tuhan. Akibatnya, mereka harus menanggung murka Allah dan mayat-mayat mereka bergelimpangan di padang gurun (Ibrani 3:16-17).

Terkait dengan suara Tuhan, ada dua masalah besar yang kita hadapi. Pertama, masalah exposure (terpaan, kesempatan untuk berjumpa) dengan Firman Tuhan. Ada orang yang akhirnya tidak mengalami pekerjaan Tuhan karena ia tidak pernah punya kesempatan untuk bertemu atau mendengar suara Tuhan. Seperti ditulis dalam Roma 10:14:
“Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?”
Jawaban dari masalah ini tentu saja adalah: menyediakan waktu untuk bertemu dengan Firman Tuhan secara teratur. Bagaimana dengan ibadah pribadi kita? Apakah kita memiliki waktu untuk membaca dan merenungkan Firman Tuhan? Apakah kita setia dan tidak menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita? Apakah kita memiliki mata, telinga, dan hati yang terbuka untuk menangkap dan belajar kepada-Nya?

Masalah kedua, adalah masalah kesediaan untuk menundukkan diri dan mentaati suara Tuhan yang didengar. Dan ini masalah yang sangat besar, mengingat kita memiliki kecenderungan untuk tidak mau diatur siapapun, tetapi hanya mau mengikuti pikiran, selera dan kehendak kita sendiri. Mazmur 32:8,9 mencatat:
“Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu. Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang, kalau tidak, ia tidak akan mendekati engkau.”
Masalah kedua ini jauh lebih sulit penyelesaiannya, karena menyangkut sifat dasar kita yang telah dicemari oleh dosa. Tuhan Yesus mengatakan, bahwa penyelesaiannya hanya dengan cara: menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Dia (Lukas 9:23). Bagaimana respons kita saat suara-Nya kita dengar? Membuat berbagai alasan untuk tidak tunduk atau menunda ketaatan? Ataukah dengan rendah hati bersedia mengakui kedaulatan Tuhan atas hidup kita, dan kemudian membuat keputusan dan langkah yang jelas untuk mentaati Dia?

Benar, Tuhan adalah Pribadi yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya. Benar, bahwa Ia memberikan kesempatan yang begitu luas kepada manusia untuk mengenal, berbalik, dan mentaati-Nya. Namun, waktu hidup kita ini terbatas—akan ada titik di mana kita akan dipanggil pulang. Betapa celakanya apabila saat sampai di titik itu, kita tetap melewatkan lawatan Tuhan atas hidup kita—karena kita sudah terlanjur terbiasa untuk mengabaikan suara-Nya.

Mumpung masih ada waktu, “pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!”

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home