Tuesday, May 09, 2006

Sebuah SMS di Pagi Buta

Suatu pagi, jam 5.30, seorang teman yang tinggal di Blacktown mengirimi saya sms. Dia meminta agar saya menyalakan TV Channel Ten. Saya langsung tahu apa yang dia maksudkan. Saya dan teman ini memang sedang menunggu-nunggu acara tersebut sejak sebulan yang lalu. Waktu saya nyalakan TV, saya menyaksikan rekaman KKR Rev. Benny Hinn di Jakarta.


Saya melihat beberapa orang maju ke depan untuk bersaksi betapa Tuhan sudah menjamah dan menyembuhkan penyakit mereka. Dan kemudian, Rev. Benny Hinn mengatakan: ”Mujizat terbesar bukanlah mujizat fisik. Mujizat terbesar adalah mujizat rohani!” Ia menantang yang hadir untuk berdoa menerima Tuhan Yesus saat itu juga.

Saya melihat tangan-tangan terangkat ke langit. Saya melihat mulut-mulut bergerak mengucapkan doa mengundang Tuhan Yesus. Saya menyaksikan begitu banyak jiwa terbuka untuk mengalami mujizat rohani itu. Tangan-tangan, mulut-mulut, jiwa-jiwa saudara sebangsa saya. Pagi itu, saya menangis melihat itu semua. Puji Tuhan!

***

Setelah acara TV itu selesai, sebuah pemikiran muncul di dalam hati saya. Mengapa teman saya ini ”berani” mengirim sms di pagi buta? Padahal, isi sms-nya bukanlah sesuatu yang bersifat emergency. Sejujurnya, tidak banyak orang yang bisa melakukan hal itu. Ketika saya mencoba menghitung-hitung; selain Rut—istri saya, ternyata tidak lebih dari 5 orang yang bisa dan pernah melakukannya.

Oh, saya tidak akan pernah menolak siapapun yang menelepon atau mendatangi saya kapanpun juga. Sejak bertahun-tahun yang lalu, saya memutuskan di hadapan Tuhan untuk membuka hidup saya 24 jam bagi orang lain. Selama tidak ada komitmen lain yang harus saya lakukan, saya akan available. Namun, pada kenyataannya, walaupun saya punya banyak sekali kenalan, hanya segelintir teman yang tidak merasa ”sungkan” untuk melakukannya.

Saya pernah membaca sebuah artikel tentang ”Friendship” yang dikirim oleh seorang teman. Di sana dituliskan, saya bisa memiliki banyak sekali kenalan, saya juga bisa punya banyak relasi yang memiliki interest yang sama. Namun saya hanya akan bisa memiliki sedikit teman dekat.

Seseorang pernah berkata kepada saya, bahwa dia sangat tertarik dengan fenomena ”platonic relationship”, seperti kedekatan Mulder dan Scully dalam serial The X-Files. Saya setuju dengannya, walaupun hanya fiksi, namun itu adalah contoh sebuah persahabatan yang dalam. And you cannot have that kind of relationship with many people.

Kalau mau jujur, berapa banyak sahabat dekat yang kita punya? Orang yang bisa nyaman untuk bicara tentang apapun juga. Orang yang enak untuk diajak ”mengata-ngatai” seluruh dunia. Orang yang tidak pernah sungkan atau berbasa-basi. Orang yang tidak pernah hitung-hitungan siapa yang mentraktir siapa.

Orang yang melakukan kebaikan kepada kita bukan sebagai balas jasa, tetapi karena memang ingin melakukannya. Orang yang berbuat sesuatu bagi kita bukan untuk membangun image, tetapi semata-mata karena suka untuk mengerjakannya.

Saya sering bilang kepada teman-teman dekat saya: sahabat adalah orang yang kepadanya kita tidak pernah merasa berhutang; dan orang yang kepadanya kita tidak pernah merasa menghutangi. Saya jadi ingat kata-kata seseorang di Solo: ”Sahabat itu tidak pernah saling menghutangi, mereka saling memberi. Mereka bisa saling meminjam, tetapi mereka tidak pernah berhutang”.

***

Dalam artikel ”Friendship” yang saya terima, dituliskan bahwa esensi teman sejati adalah: intimacy. May I suggest another thing? Berdasar pengalaman hidup saya selama ini, fondasi utama dari persahabatan sejati adalah: kepercayaan. Trust. Menurut saya, keintiman tidak akan pernah terbangun tanpa kepercayaan. You will never be intimate with somebody you do not trust!

Ambillah contoh teman saya yang di Blacktown tadi. Saya memang pernah mengatakan kepadanya untuk menghubungi saya kapan saja. Tetapi, dia tidak akan pernah berani untuk mengontak saya pagi-pagi buta atau di tengah malam, kalau dia tidak percaya kepada kata-kata saya. Selama ia memandang bahwa saya hanya berbasa-basi, dia tidak akan pernah menggunakan kesempatan untuk menghubungi saya. Ia berani untuk melakukannya, karena dia percaya bahwa saya tidak akan tersinggung, saya tidak akan terganggu, dan saya tidak akan menolak.

Saya punya seorang kenalan. Saya sudah mengenalnya selama bertahun-tahun. Dia seorang yang sangat periang, luwes, dan friendly. Manis kata-katanya, berbunga-bunga kalimatnya; pandai memikat dan menyenangkan hati orang lain. Kepada siapapun, dia selalu bilang: ”Si A itu teman dekat saya. Si B itu sahabat baik saya.” But, to tell you the truth, saya tidak yakin bahwa dia punya teman sejati, selain istrinya. I don’t think he has many people that really trust him.

***

Inilah doa saya. Agar Tuhan membangun saya menjadi orang yang trustworthy. Supaya orang lain mempercayai saya, supaya mereka melihat kesungguhan hati saya. Sehingga mereka berani mengambil resiko untuk memulai persahabatan dengan saya.

Saya berdoa supaya saya diberi hati yang setia, yang loyal kepada teman-teman yang telah saya miliki. Sehingga persahabatan yang sudah susah-payah terbangun tidak mudah runtuh, dan supaya saya tidak perlu kehilangan teman.

Saya tahu, pada akhirnya, yang paling berharga adalah jiwa manusia. Sekalipun saya memiliki semua harta di bumi, walaupun saya menggapai semua gelar akademik, seandainya saya menempati semua posisi tertinggi; kalau saya tidak punya sahabat—maka saya adalah orang termiskin dan paling kesepian di dunia.

For you that are my true friends: “Thank you. Your friendship has made me a very rich man!”

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home