Suatu Petang di Tengah Jalan Menuju Emaus
Minggu malam, dua orang berjalan kaki menuju Emaus, sebuah kampung sekitar 7 mil (sekitar 11 km) di sebelah barat Yerusalem. Selama berjalan, kedua orang ini terus sibuk berbicara satu sama lain. Sementara mereka asyik bicara, Seseorang menyusul mereka dan turut berjalan di samping mereka. Tuhan Yesus berjalan bersama mereka, namun mata mereka tidak mengenaliNya.
Tuhan Yesus bertanya apa yang begitu asyik mereka perbincangkan. Dan kedua orang inipun menjelaskan bahwa mereka sedang membicarakan tentang Yesus, Nabi besar yang melakukan banyak mujizat, namun yang telah mati disalibkan tiga hari sebelumnya, dan ketika beberapa wanita pergi ke kuburNya pagi itu, mereka tidak menemukan tubuhNya (Lukas 24:13-24).
Sebuah pertanyaan muncul dalam pikiran saya: Mengapa Tuhan Yesus memilih untuk menyusul kedua orang ini? Mengapa Ia datang mendekati mereka? Padahal ada begitu banyak orang yang bisa didatangi malam itu?
Salah satu jawaban yang muncul adalah: karena mereka sedang membicarakan Dia. Ketika orang membicarakan Tuhan Yesus, Ia tertarik untuk datang mendekat. Maleakhi 3:16 (NIV) mencatat:
Saya merasa ditegur dengan keras. Ketika saya bertemu dengan orang lain, apa yang saya bicarakan dengan mereka? Apa yang menjadi bahan perbincangan saya? Keluhan, gosip, pertengkaran, keburukan orang lain? Ataukah ataukah membicarakan Tuhan, kebaikanNya, kesetiaanNya, kuasaNya, bagaimana bisa mentaati dan mengasihi Dia?
Saya harus mengakui, bahwa tidak selalu saya bisa dengan spontan membicarakan Tuhan atau prinsip-prinsip firman Tuhan. Padahal, apa yang keluar dari mulut saya adalah pancaran dari isi hati saya (Matius 15:18).
Kalau hati saya tidak dipenuhi kecintaan kepada Tuhan dan rasa takut kepadaNya, mustahil saya bisa dengan ”natural” membicarakan Dia. Kalaupun saya mendiskusikan perkara-perkara tentang Tuhan, maka itu karena dipaksakan, oleh karena saya sedang berada di dalam lingkungan yang ”rohani”, dan saya tidak mau dinilai sebagai seseorang yang duniawi. Dan Tuhan tahu, bahwa saya sedang berpura-pura!
***
Kembali ke jalan menuju Emaus. Tuhan Yesus kemudian menjelaskan kepada mereka seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab Musa sampai semua kitab para nabi; bahwa Mesias harus menderita sebelum masuk ke dalam kemuliaanNya. Mendengar penjelasan itu, hati kedua orang ini menjadi berkobar-kobar karena pikiran mereka menjadi terbuka kepada kebenaran firman Tuhan.
Dan ketika mendekati Emaus, Tuhan Yesus hendak meneruskan perjalanan; namun kedua orang ini menahanNya. Mereka minta agar Dia tinggal bersama mereka. Dan permintaan itu bukanlah cuma basa-basi, sebab Alkitab mencatatnya demikian ”Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya: "Tinggallah bersama-sama dengan kami...” (Lukas 24:29).
Dalam Alkitab NIV dikatakan: ”But they urged Him strongly” dan dalam Amplified Bible dicatat: “But they urged and insisted”. Mereka membujuk, memohon, mendesak dengan sangat agar Tuhan Yesus tinggal bersama mereka.
Dan Tuhan Yesus menuruti permintaan itu. Ia suka ketika orang membujuk dan mendesakNya untuk tinggal bersama mereka. Ia suka melihat hati yang sungguh-sungguh ingin bergaul denganNya. Bukankah Ia sendiri sangat ingin untuk bersekutu dengan kita?
Kalau mau sungguh-sungguh jujur, ada beberapa kesempatan di mana saya sangat enggan pergi ke gereja atau persekutuan. Kalau saja saya tidak harus melayani, kalau saja saya tidak takut dengan penilaian orang, kalau saja saya tidak peduli dengan apa kata orang—mungkin saya sudah tidak datang. Dan saya tahu, ketika sikap seperti itu ada di dalam hati saya, maka ibadah yang saya lakukan sebenarnya sia-sia saja di hadapan Tuhan:
Ada beberapa kesempatan di mana saya berada di suatu tempat bersama orang lain, tetapi sama sekali tidak mengalami fellowship. Misalnya, sendirian pergi ke sebuah acara: banyak orang di sana, tapi sama sekali nggak ada yang dikenal—tidak ada keakraban, melainkan cuma basa-basi. Do you know how it feel? Terrible! Tersiksa, dan rasanya mau pulang saja!
Saya melihat bahwa hal yang sama kadang terjadi di dalam hidup ibadah saya: tidak mengalami keakraban dengan Tuhan, hanya melakukan ritual tanpa hati yang bersungguh-sungguh menyembah Tuhan. Ada beberapa kesempatan di tengah-tengah ibadah, saya harus berteriak di dalam hati kepada Tuhan agar membuat hati saya tertuju kepadaNya, merindukan dan mencari Dia.
***
Setiap Paskah, saya merenungkan tentang berita kebangkitan Tuhan Yesus; sebagai bukti kemenanganNya atas dosa dan maut. Namun Paskah tahun 2006 ini, saya justru diingatkan untuk menata hati saya.
Agar hati saya penuh dengan takut akan Tuhan dan kecintaan kepada Tuhan, sehingga ketika saya bicara atau mengobrol dengan orang lain, Tuhanlah yang menjadi pusat pembicaraan saya.
Agar saya sungguh-sungguh merindukan dan mencari Dia di dalam ibadah saya, supaya Dia tidak hanya ada bersama saya, namun saya benar-benar mengalami fellowship denganNya.
Tuhan Yesus bertanya apa yang begitu asyik mereka perbincangkan. Dan kedua orang inipun menjelaskan bahwa mereka sedang membicarakan tentang Yesus, Nabi besar yang melakukan banyak mujizat, namun yang telah mati disalibkan tiga hari sebelumnya, dan ketika beberapa wanita pergi ke kuburNya pagi itu, mereka tidak menemukan tubuhNya (Lukas 24:13-24).
Sebuah pertanyaan muncul dalam pikiran saya: Mengapa Tuhan Yesus memilih untuk menyusul kedua orang ini? Mengapa Ia datang mendekati mereka? Padahal ada begitu banyak orang yang bisa didatangi malam itu?
Salah satu jawaban yang muncul adalah: karena mereka sedang membicarakan Dia. Ketika orang membicarakan Tuhan Yesus, Ia tertarik untuk datang mendekat. Maleakhi 3:16 (NIV) mencatat:
Then those who feared the LORD talked with each other, and the LORD listened and heard. A scroll of rememberance was written in His presence concerning those who feared the LORD and honored His name.Orang-orang yang takut akan Tuhan berbicara satu sama lain tentang Tuhan, dan Ia datang mendekat dan mendengarkan pembicaraan mereka. Tuhan sangat suka mendengarkan anak-anakNya membicarakan tentang Dia karena mereka takut akan Dia dan memuliakan namaNya.
Saya merasa ditegur dengan keras. Ketika saya bertemu dengan orang lain, apa yang saya bicarakan dengan mereka? Apa yang menjadi bahan perbincangan saya? Keluhan, gosip, pertengkaran, keburukan orang lain? Ataukah ataukah membicarakan Tuhan, kebaikanNya, kesetiaanNya, kuasaNya, bagaimana bisa mentaati dan mengasihi Dia?
Saya harus mengakui, bahwa tidak selalu saya bisa dengan spontan membicarakan Tuhan atau prinsip-prinsip firman Tuhan. Padahal, apa yang keluar dari mulut saya adalah pancaran dari isi hati saya (Matius 15:18).
Kalau hati saya tidak dipenuhi kecintaan kepada Tuhan dan rasa takut kepadaNya, mustahil saya bisa dengan ”natural” membicarakan Dia. Kalaupun saya mendiskusikan perkara-perkara tentang Tuhan, maka itu karena dipaksakan, oleh karena saya sedang berada di dalam lingkungan yang ”rohani”, dan saya tidak mau dinilai sebagai seseorang yang duniawi. Dan Tuhan tahu, bahwa saya sedang berpura-pura!
***
Kembali ke jalan menuju Emaus. Tuhan Yesus kemudian menjelaskan kepada mereka seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab Musa sampai semua kitab para nabi; bahwa Mesias harus menderita sebelum masuk ke dalam kemuliaanNya. Mendengar penjelasan itu, hati kedua orang ini menjadi berkobar-kobar karena pikiran mereka menjadi terbuka kepada kebenaran firman Tuhan.
Dan ketika mendekati Emaus, Tuhan Yesus hendak meneruskan perjalanan; namun kedua orang ini menahanNya. Mereka minta agar Dia tinggal bersama mereka. Dan permintaan itu bukanlah cuma basa-basi, sebab Alkitab mencatatnya demikian ”Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya: "Tinggallah bersama-sama dengan kami...” (Lukas 24:29).
Dalam Alkitab NIV dikatakan: ”But they urged Him strongly” dan dalam Amplified Bible dicatat: “But they urged and insisted”. Mereka membujuk, memohon, mendesak dengan sangat agar Tuhan Yesus tinggal bersama mereka.
Dan Tuhan Yesus menuruti permintaan itu. Ia suka ketika orang membujuk dan mendesakNya untuk tinggal bersama mereka. Ia suka melihat hati yang sungguh-sungguh ingin bergaul denganNya. Bukankah Ia sendiri sangat ingin untuk bersekutu dengan kita?
Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku (Wahyu 3:20).Saya harus kembali mengakui, bahwa tidak setiap saat hati saya ini ingin bertemu dengan Tuhan. Bahkan ketika saya berada di dalam suatu acara atau kegiatan ibadah, hati saya tidak selalu sungguh-sungguh mencari Dia. Ada waktu-waktu di mana jam-jam ibadah hanyalah merupakan rutinitas saja.
Kalau mau sungguh-sungguh jujur, ada beberapa kesempatan di mana saya sangat enggan pergi ke gereja atau persekutuan. Kalau saja saya tidak harus melayani, kalau saja saya tidak takut dengan penilaian orang, kalau saja saya tidak peduli dengan apa kata orang—mungkin saya sudah tidak datang. Dan saya tahu, ketika sikap seperti itu ada di dalam hati saya, maka ibadah yang saya lakukan sebenarnya sia-sia saja di hadapan Tuhan:
Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan (Yesaya 29:13).Saya yakin, bahwa Tuhan selalu hadir di dalam setiap ibadah. Sebab Ia sudah berjanji bahwa di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaNya, maka Ia akan ada bersama-sama mereka (Matius 18:20). Persoalannya adalah: berada di tempat yang sama tidak identik dengan mengalami persekutuan atau fellowship.
Ada beberapa kesempatan di mana saya berada di suatu tempat bersama orang lain, tetapi sama sekali tidak mengalami fellowship. Misalnya, sendirian pergi ke sebuah acara: banyak orang di sana, tapi sama sekali nggak ada yang dikenal—tidak ada keakraban, melainkan cuma basa-basi. Do you know how it feel? Terrible! Tersiksa, dan rasanya mau pulang saja!
Saya melihat bahwa hal yang sama kadang terjadi di dalam hidup ibadah saya: tidak mengalami keakraban dengan Tuhan, hanya melakukan ritual tanpa hati yang bersungguh-sungguh menyembah Tuhan. Ada beberapa kesempatan di tengah-tengah ibadah, saya harus berteriak di dalam hati kepada Tuhan agar membuat hati saya tertuju kepadaNya, merindukan dan mencari Dia.
***
Setiap Paskah, saya merenungkan tentang berita kebangkitan Tuhan Yesus; sebagai bukti kemenanganNya atas dosa dan maut. Namun Paskah tahun 2006 ini, saya justru diingatkan untuk menata hati saya.
Agar hati saya penuh dengan takut akan Tuhan dan kecintaan kepada Tuhan, sehingga ketika saya bicara atau mengobrol dengan orang lain, Tuhanlah yang menjadi pusat pembicaraan saya.
Agar saya sungguh-sungguh merindukan dan mencari Dia di dalam ibadah saya, supaya Dia tidak hanya ada bersama saya, namun saya benar-benar mengalami fellowship denganNya.
1 Comments:
thanks banget..
tulisanmu, bisa jadi referensiku tuk ngajar sekolah minggu.
salam,
nyit
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home