Membangun Rumah Tuhan
Sekalipun sudah lebih dari 7 tahun berkeluarga, kami belum juga punya rumah sendiri. Kami memang sering bergurau: “Lebih enak kontrak saja. Bisa gonta-ganti model. Dan kalau bosan dengan tetangga, kita bisa pindah”. Namun sesungguhnya, memiliki rumah yang dibangun sesuai dengan kebutuhan dan keinginan adalah salah satu impian kami. Saya sendiri terus merasa “berhutang” kepada keluarga saya selama impian itu belum terwujud.
Hidup orang percaya seringkali digambarkan sebagai rumah Tuhan. Rasul Paulus pernah menulis: “Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ... bangunan Allah” (1 Kor. 3:9). Selanjutnya, Paulus menyatakan bahwa ia diberi anugerah Allah untuk berperan sebagai seorang ahli bangunan yang telah meletakkan pondasi kehidupan bagi jemaat, dan sekarang jemaat bertanggung jawab untuk “memperhatikan bagaimana ia harus membangun di atasnya” (1 Kor. 3:10).
***
Membangun rumah bukanlah sebuah pekerjaan yang dapat dilakukan dengan sembarangan. Ada prinsip-prinsip yang harus dipenuhi supaya bangunan yang didirikan itu bisa disebut sebagai rumah, sebagai tempat tinggal.
Pertama, sebuah rumah memiliki bagian-bagian esensial (terpenting) yang harus ada. Suatu bangunan bisa disebut sebagai “rumah” tempat tinggal apabila bangunan itu memiliki: pondasi sebagai alas, dinding sebagai pembatas, atap sebagai penutup, dan pintu sebagai jalan keluar-masuk penghuninya.
Apapun bentuknya, apapun bahannya, di manapun lokasinya; apabila sebuah bangunan telah memiliki bagian-bagian esensial tersebut, maka ia akan dapat dijadikan tempat tinggal. Warna cat tembok, merek perabotan, dan hiasan yang akan dipasang adalah hal-hal yang bisa dipikirkan dan didapatkan belakangan.
Apabila bagian-bagian yang esensial itu telah ada, walau belum punya tempat tidur sekalipun, kita sudah bisa tidur di lantai, dan bangunan rumah itu akan melindungi kita dari terpaan angin dan hujan. Tetapi, apakah gunanya kita memiliki spring-bed yang paling mahal dengan bantal bulu angsa dan bed cover berbahan sutra, kalau dinding dan atapnya belum ada?
Kedua, untuk membangun rumah diperlukan “proses yang benar”. Di dalam mendirikan sebuah rumah, seorang ahli bangunan akan mengikuti sebuah prinsip dan cara tertentu: membangun dari bawah—dimulai dengan pondasi, ke atas. Mulai dengan bagian-bagian utama, dan dengan bertahap merampungkan hal-hal yang lebih sekunder.
Pernahkan ditemukan pohon mangga yang berbuah sebelum batangnya tumbuh sempurna? Pernahkah kita melihat seorang ibu yang mengajari bayi berusia 3 bulan untuk membaca? Demikian juga, tidak ada orang yang meletakkan atap rumah lebih dahulu, baru kemudian membangun dindingnya, dan terakhir pondasinya.
Sama seperti pohon yang tumbuh dari sepucuk tunas, sama seperti manusia tumbuh dewasa dari bayi yang mungil; pembangunan rumah pun mengikuti suatu proses yang urut, yang terstruktur, bertahap, dengan program yang jelas tujuannya.
Di dalam membangun rumah, seorang arsitek akan memulai proses itu dengan sebuah gambar rancangan. Rancangan itu mencerminkan tujuan dan selera dari calon penghuninya. Sebelum rumah itu jadi, sang arsitek sudah bisa ”melihat” ujud rumah itu di dalam pikirannya.
Kemudian, seorang insinyur teknik sipil akan menterjemahkan gambar rancangan rumah itu ke dalam sebuah program pembangunan yang rapi: tahap demi tahap, bagian demi bagian, sampai akhirnya keseluruhan bangunan tersebut lengkap berdiri.
***
Memiliki rumah adalah salah satu ”obsesi” setiap keluarga. Dan ketika tiba saatnya untuk membangun rumah, kita akan berusaha untuk mencari arsitek terbaik, pemborong atau tukang terbaik, dan bahan bangunan terbaik yang bisa kita dapatkan. Mengapa? Karena kita ingin memperoleh the best building untuk kita pakai dan kita tinggali dalam jangka waktu yang lama.
Apakah kita memiliki kesungguhan yang sama untuk membangun ”rumah rohani” kita? Rumah rohani itu, hidup kita, adalah tempat kediaman Allah (1 Kor. 3:16); yang akan digunakanNya sebagai pusat puji-pujian dan penyembahan kepadaNya, serta akan dipakaiNya untuk menyalurkan berkat bagi dunia di sekitar kita. Bukan hanya untuk jangka waktu satu-dua atau belasan tahun, namun sampai kepada kekekalan.
Apakah kita akan sembarangan saja di dalam membangunnya? Asal comot bahan, sibuk dengan hal-hal yang sepertinya ”hebat”, tetapi melalaikan pengajaran dan disiplin rohani yang esensial? Asal menjalankan rutinitas kegiatan, tanpa tujuan dan arah pertumbuhan yang jelas?
Rasul Paulus mengingatkan bahwa ”pekerjaan masing-masing orang akan diuji ... jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah” (1 Kor. 3:13,14). Ketika ujian itu datang, ketika hujan dan badai itu turun; bagaimanakah nasib rumah kita? Tetap kokoh di atas batu karang? Ataukah akan hanyut terbawa banjir?
Hidup orang percaya seringkali digambarkan sebagai rumah Tuhan. Rasul Paulus pernah menulis: “Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ... bangunan Allah” (1 Kor. 3:9). Selanjutnya, Paulus menyatakan bahwa ia diberi anugerah Allah untuk berperan sebagai seorang ahli bangunan yang telah meletakkan pondasi kehidupan bagi jemaat, dan sekarang jemaat bertanggung jawab untuk “memperhatikan bagaimana ia harus membangun di atasnya” (1 Kor. 3:10).
***
Membangun rumah bukanlah sebuah pekerjaan yang dapat dilakukan dengan sembarangan. Ada prinsip-prinsip yang harus dipenuhi supaya bangunan yang didirikan itu bisa disebut sebagai rumah, sebagai tempat tinggal.
Pertama, sebuah rumah memiliki bagian-bagian esensial (terpenting) yang harus ada. Suatu bangunan bisa disebut sebagai “rumah” tempat tinggal apabila bangunan itu memiliki: pondasi sebagai alas, dinding sebagai pembatas, atap sebagai penutup, dan pintu sebagai jalan keluar-masuk penghuninya.
Apapun bentuknya, apapun bahannya, di manapun lokasinya; apabila sebuah bangunan telah memiliki bagian-bagian esensial tersebut, maka ia akan dapat dijadikan tempat tinggal. Warna cat tembok, merek perabotan, dan hiasan yang akan dipasang adalah hal-hal yang bisa dipikirkan dan didapatkan belakangan.
Apabila bagian-bagian yang esensial itu telah ada, walau belum punya tempat tidur sekalipun, kita sudah bisa tidur di lantai, dan bangunan rumah itu akan melindungi kita dari terpaan angin dan hujan. Tetapi, apakah gunanya kita memiliki spring-bed yang paling mahal dengan bantal bulu angsa dan bed cover berbahan sutra, kalau dinding dan atapnya belum ada?
Kedua, untuk membangun rumah diperlukan “proses yang benar”. Di dalam mendirikan sebuah rumah, seorang ahli bangunan akan mengikuti sebuah prinsip dan cara tertentu: membangun dari bawah—dimulai dengan pondasi, ke atas. Mulai dengan bagian-bagian utama, dan dengan bertahap merampungkan hal-hal yang lebih sekunder.
Pernahkan ditemukan pohon mangga yang berbuah sebelum batangnya tumbuh sempurna? Pernahkah kita melihat seorang ibu yang mengajari bayi berusia 3 bulan untuk membaca? Demikian juga, tidak ada orang yang meletakkan atap rumah lebih dahulu, baru kemudian membangun dindingnya, dan terakhir pondasinya.
Sama seperti pohon yang tumbuh dari sepucuk tunas, sama seperti manusia tumbuh dewasa dari bayi yang mungil; pembangunan rumah pun mengikuti suatu proses yang urut, yang terstruktur, bertahap, dengan program yang jelas tujuannya.
Di dalam membangun rumah, seorang arsitek akan memulai proses itu dengan sebuah gambar rancangan. Rancangan itu mencerminkan tujuan dan selera dari calon penghuninya. Sebelum rumah itu jadi, sang arsitek sudah bisa ”melihat” ujud rumah itu di dalam pikirannya.
Kemudian, seorang insinyur teknik sipil akan menterjemahkan gambar rancangan rumah itu ke dalam sebuah program pembangunan yang rapi: tahap demi tahap, bagian demi bagian, sampai akhirnya keseluruhan bangunan tersebut lengkap berdiri.
***
Memiliki rumah adalah salah satu ”obsesi” setiap keluarga. Dan ketika tiba saatnya untuk membangun rumah, kita akan berusaha untuk mencari arsitek terbaik, pemborong atau tukang terbaik, dan bahan bangunan terbaik yang bisa kita dapatkan. Mengapa? Karena kita ingin memperoleh the best building untuk kita pakai dan kita tinggali dalam jangka waktu yang lama.
Apakah kita memiliki kesungguhan yang sama untuk membangun ”rumah rohani” kita? Rumah rohani itu, hidup kita, adalah tempat kediaman Allah (1 Kor. 3:16); yang akan digunakanNya sebagai pusat puji-pujian dan penyembahan kepadaNya, serta akan dipakaiNya untuk menyalurkan berkat bagi dunia di sekitar kita. Bukan hanya untuk jangka waktu satu-dua atau belasan tahun, namun sampai kepada kekekalan.
Apakah kita akan sembarangan saja di dalam membangunnya? Asal comot bahan, sibuk dengan hal-hal yang sepertinya ”hebat”, tetapi melalaikan pengajaran dan disiplin rohani yang esensial? Asal menjalankan rutinitas kegiatan, tanpa tujuan dan arah pertumbuhan yang jelas?
Rasul Paulus mengingatkan bahwa ”pekerjaan masing-masing orang akan diuji ... jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah” (1 Kor. 3:13,14). Ketika ujian itu datang, ketika hujan dan badai itu turun; bagaimanakah nasib rumah kita? Tetap kokoh di atas batu karang? Ataukah akan hanyut terbawa banjir?
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home