Tuesday, February 28, 2006

Tinta "Ajaib" dan Sebatang Pensil

Ketika saya menulis "The Mildura Accident" minggu lalu, saya hanya ingin membagikan apa yang muncul dalam hati saya. Satu hari setelah tulisan itu saya post-kan, Rino (teman yang dulu kuliah di Newcastle) membacanya. "Kebetulan" salah seorang anggota keluarganya baru saja meninggal dunia.

Tulisan yang sederhana itu tiba-tiba saja memiliki arti yang lebih dalam bagi salah seorang pembacanya; tanpa saya tahu sebelumnya, tanpa pernah saya rencanakan.

Apa yang terjadi kalau saya tidak pernah berani untuk menuliskannya dan mengirimkannya?



Saya tidak merencanakan agar tulisan itu akan menyentuh hati orang lain. Saya tidak pernah tahu bahwa ada teman yang sedang kehilangan keluarga. Saya tidak mengira Tuhan bisa memakai tulisan itu untuk memberkati orang lain.

Saya tidak tahu banyak hal, saya tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi. Namun, Tuhan tahu. Ia melihat segala sesuatu. Ia telah mengetahui "the big picture", saya hanya melihat satu keping dari jigsaw puzzle kehidupan ini.

***

Beberapa minggu lalu, seorang teman menceritakan kisah ini kepada saya.


Bertahun-tahun yang lalu, Amerika Serikat dan Uni Soviet terlibat dalam perlombaan untuk menguasai ekspedisi ke luar angkasa (space race).

Ilmuwan dan insinyur dari kedua negara tersebut terus-menerus berada di dalam kompetisi yang sangat ketat untuk menemukan terobosan teknolologi yang akan membuat negara mereka selangkah lebih mau dari negara saingannya.

Salah satu bidang yang membuat pusing para ilmuwan NASA (lembaga antariksa AS) adalah: menemukan tinta yang bisa digunakan di ruang tanpa bobot di dalam pesawat luar angkasa. Puluhan bahkan ratusan ribu dollar dihabiskan untuk menemukan formula tinta "ajaib" tersebut. Ratusan bahkan ribuan jam dihabiskan untuk melakukan riset dan eksperimen.

Anda tahu apa yang dilakukan oleh Uni Soviet? Mereka menulis memakai pensil!

Seringkali, kita sibuk mencari-cari apa yang tidak ada; padahal apa yang kita butuhkan sebenarnya telah tersedia di depan mata.

Banyak orang percaya yang tidak pernah berani melangkah untuk melakukan sesuatu oleh karena mereka terus-menerus merasa kurang, belum dewasa, tidak punya karunia, minim talenta, dan segudang alasan yang lain.

Terlalu banyak orang yang menunggu agar ia lebih dulu "sempurna" sebelum mulai bekerja. Beberapa orang menghabiskan jam-jam doanya untuk meminta karunia-karunia Roh yang adi kodrati (supranatural), karena berpikir bahwa tanpanya ia tidak akan pernah berguna.

Kadang, kita begitu sibuk memikirkan hal-hal yang terlalu besar atau tinggi tentang diri kita. Apalagi, ketika kita mulai membandingkan diri dengan orang lain, yang di mata kita memiliki puluhan kelebihan yang tidak kita miliki.

Kita ingin seperti dia, dan kita berpikir bahwa kita hanya akan berguna kalau kita pun memiliki semua kelebihan itu. Kita lupa untuk menilai diri kita "menurut ukuran iman yang dikaruniakan Allah kepada kita masing-masing" (Roma 12:3).

Dalam perumpamaan tentang talenta (Matius 25:14-30), sang Tuan menunjukkan penghargaan yang persis sama kepada hamba yang memiliki 5 talenta maupun 2 talenta. Ia menghargai mereka bukan berdasar berapa talenta yang mula-mula mereka miliki, namun berdasar apa yang mereka lakukan dengan talenta itu.

Kalau saja hamba dengan 1 talenta itu mau bekerja mengembangkan talentanya, pastilah ia akan mendapat penghargaan yang sama dari sang Tuan.

***

Kita tidak perlu menunggu lagi. Kita bisa mulai bergerak sekarang, dengan apa yang kita punya, dengan apa yang kita bisa. Keluar dari kotak egoisme, lepas dari belengu rasa rendah diri. Memperhatikan orang lain, melakukan sesuatu; sekalipun sederhana dan kelihatannya tidak berarti apa-apa.

Kita tidak pernah tahu berkat macam apa yang diterima orang lain dari tindakan kita yang paling sederhana. Tapi Tuhan tahu.

Saya meyakini prinsip "siapa mempunyai, ia akan diberi" (Matius 25:29). Kalau kita berani mulai melakukan sesuatu, dengan hati tulus dan nurani yang murni, maka Tuhan yang akan menambahkan kemampuan, talenta, karunia, dan entah apa lagi namanya, untuk makin melengkapi kita.

Dan jangan kaget, kalau kita setia melakukannya, kita akan mendapati bahwa Tuhan mulai mempertajam kepekaan hati kita kepada keadaan orang lain; sampai-sampai kita seolah-olah bisa "meramalkan" kebutuhan orang. Sehingga ketika kita melakukan atau mengatakan sesuatu, sesuatu itu begitu "tepat" memenuhi kebutuhan orang lain.

Jangan menghabiskan waktu untuk menemukan tinta ajaib. Ambillah pensil yang sekarang tergeletak di atas meja.

1 Comments:

Blogger -rino said...

tapi kadang-kadang kita ga menyadari kalau "pensil" itu sudah ada di depan kita ya.

ga tahu kenapa.

kurang mengenal apa yang sebenarnya kita butuhkan mungkin,
atau malah ga mau menghargai apa yang sudah diberikan dan disediakan.

3/02/2006 12:16 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home