Makan Malam Terindah
Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat undangan untuk makan malam di rumah salah satu keluarga. Tidak ada yang berulang tahun, tidak ada yang wisuda, tidak ada peristiwa khusus yang dirayakan. Semata-mata datang untuk makan bersama. Keluarga yang satu ini memang punya kebiasaan mengundang makan, terutama para bulok (bujangan lokal) yang sangat terbatas keragaman menu makannya (kalau bukan telor ceplok atau indomie rebus ya fish & chip dan burger, he...he...he...).
Tapi, acara makan malam kemarin itu tidak semata-mata untuk memberikan peningkatan gizi kepada para bulok itu. Soalnya, yang datang ternyata berasal dari kalangan yang lebih luas. Dari sepasang ibu dan anak perempuannya yang paling setia mencuci piring di Gereja, sampai bapak-ibu dari Medan yang hendak menunggui kelahiran cucunya. Dari pengantin baru yang menikmati suasana bulan madu, sampai suami-istri yang sedang menanti kelahiran anak keduanya. Dari mahasiswi baru yang masih menderita homesick, sampai mahasiswa lama yang stress karena thesisnya nggak selesai juga. Dan tak ketinggalan, ibu-ibu yang begitu perkasa dalam melakukan peran mereka sebagai single parent.
Acaranya? Wah, jangan ditanya lagi. Lebih daripada cuma sekedar makan bersama. Beragam! Mulai dari ngobrol ngalor-ngidul, menyanyikan lagu-lagu Batak dan Mangarai, menari poco-poco, cha-cha, dan rock & roll, sampai dengan rapat gelap para cleaner profesional. Pokoknya komplit!
Akan tetapi, bukan semua kemeriahan dan hingar bingar itu yang paling berkesan di hati saya. Bukan lagu, obrolan, canda, dan lezatnya masakan yang membuat saya terus mengenang malam itu.
***
Sesaat sebelum kami mulai menyantap hidangan, seorang Ibu diminta untuk memimpin doa. Beberapa orang mendorong dan memberi semangat kepada Ibu ini, oleh karena beliau kelihatan sungkan dan merasa tidak siap. Semula, saya mengira bahwa teman-teman itu hanya bergurau, tetapi ternyata mereka sungguh-sungguh meminta Ibu ini untuk berdoa.
Saya benar-benar speechless, ketika sang Ibu benar-benar memimpin doa. Bertahun-tahun saya mengenal Ibu ini. Bertahun-tahun kami beribadah bersama di Gereja. Dan ini adalah untuk pertama kalinya saya mendengar beliau berdoa di muka umum.
Dan, betapa indah doa yang diucapkannya. That was one of the most beautiful prayer I've ever heard! Begitu menyentuh perasaan. Saya dan beberapa orang benar-benar meneteskan air mata mendengarkan doa itu diucapkan.
Doanya tidak berbunga-bunga atau penuh dengan kata-kata mutiara. Justru sangat sederhana, dengan kata-kata sehari-hari dan bukan kata-kata yang "rohani". Caranya berdoa begitu bersahaja, tidak seperti orang yang berdeklamasi atau berkhotbah di mimbar; namun seperti seorang yang sedang bicara kepada teman yang duduk di depannya.
Lalu mengapa doa itu begitu menyentuh? Saya pikir, mungkin karena doa itu dinaikkan dengan sepenuh hatinya, dengan segala ketulusan nuraninya. Saya bisa merasakan ketulusan itu. Ibu ini tidak sedang pamer kehebatan di dalam berdoa, tidak sedang melakukan pertunjukan, tidak sedang mencari pujian. She did not try to impress anybody, but she tried to express her mind and feeling to the Lord.
***
Ada satu hal lagi yang memenuhi pemikiran saya. Saya terus-menerus bertanya kepada diri saya sendiri: mengapa ibu ini akhirnya berani berdoa di muka umum? Saya mendengar dari seorang teman, bahwa sebenarnya ibu ini sudah lama punya keinginan untuk berdoa di muka umum. Tetapi, mengapa baru sekarang hal itu terwujud?
Apakah selama ini dia merasa tidak siap? Kalau benar begitu, lalu mengapa sampai ada perasaan tidak siap? Apakah dia berpikir bahwa orang lain menuntut suatu standar tertentu di dalam berdoa, dan dia merasa belum mampu mencapai standar tersebut? Apakah selama ini ia merasa minder karena mendengar doa-doa "bagus" yang diucapkan oleh orang lain?
Ataukah, sebenarnya lingkungannya yang menjadi penghalang baginya? Apakah karena selama ini tidak ada satu orang pun yang terpikir untuk memintanya berdoa? Apakah orang-orang di sekitarnya selama ini tidak menampakkan apresiasi dan penghargaan yang memberi dorongan kepadanya? Ataukah selama ini suasana yang ada tidak cukup hangat atau welcome sehingga menimbulkan rasa sungkan dan takut?
***
Saya tidak bisa dengan tuntas menjawab semua pertanyaan itu. And to tell you the truth, I don't really mind. Sebab apapun jawabannya, yang penting malam itu saya diijinkan memperoleh pengalaman yang begitu berharga!
Terimakasih, Saudaraku. Karena telah membuka pintu rumahmu, membuat kami merasa diterima, merasa at home. Sampai-sampai, keramahan suasananya mampu memberikan dorongan dan keberanian bagi seseorang untuk mencurahkan hatinya kepada Tuhan.
Terima kasih, Ibu. Doa Ibu semalam adalah doa yang sangat indah. Saya belajar banyak darinya. Saya mendapat banyak berkat olehnya.
Tapi, acara makan malam kemarin itu tidak semata-mata untuk memberikan peningkatan gizi kepada para bulok itu. Soalnya, yang datang ternyata berasal dari kalangan yang lebih luas. Dari sepasang ibu dan anak perempuannya yang paling setia mencuci piring di Gereja, sampai bapak-ibu dari Medan yang hendak menunggui kelahiran cucunya. Dari pengantin baru yang menikmati suasana bulan madu, sampai suami-istri yang sedang menanti kelahiran anak keduanya. Dari mahasiswi baru yang masih menderita homesick, sampai mahasiswa lama yang stress karena thesisnya nggak selesai juga. Dan tak ketinggalan, ibu-ibu yang begitu perkasa dalam melakukan peran mereka sebagai single parent.
Acaranya? Wah, jangan ditanya lagi. Lebih daripada cuma sekedar makan bersama. Beragam! Mulai dari ngobrol ngalor-ngidul, menyanyikan lagu-lagu Batak dan Mangarai, menari poco-poco, cha-cha, dan rock & roll, sampai dengan rapat gelap para cleaner profesional. Pokoknya komplit!
Akan tetapi, bukan semua kemeriahan dan hingar bingar itu yang paling berkesan di hati saya. Bukan lagu, obrolan, canda, dan lezatnya masakan yang membuat saya terus mengenang malam itu.
***
Sesaat sebelum kami mulai menyantap hidangan, seorang Ibu diminta untuk memimpin doa. Beberapa orang mendorong dan memberi semangat kepada Ibu ini, oleh karena beliau kelihatan sungkan dan merasa tidak siap. Semula, saya mengira bahwa teman-teman itu hanya bergurau, tetapi ternyata mereka sungguh-sungguh meminta Ibu ini untuk berdoa.
Saya benar-benar speechless, ketika sang Ibu benar-benar memimpin doa. Bertahun-tahun saya mengenal Ibu ini. Bertahun-tahun kami beribadah bersama di Gereja. Dan ini adalah untuk pertama kalinya saya mendengar beliau berdoa di muka umum.
Dan, betapa indah doa yang diucapkannya. That was one of the most beautiful prayer I've ever heard! Begitu menyentuh perasaan. Saya dan beberapa orang benar-benar meneteskan air mata mendengarkan doa itu diucapkan.
Doanya tidak berbunga-bunga atau penuh dengan kata-kata mutiara. Justru sangat sederhana, dengan kata-kata sehari-hari dan bukan kata-kata yang "rohani". Caranya berdoa begitu bersahaja, tidak seperti orang yang berdeklamasi atau berkhotbah di mimbar; namun seperti seorang yang sedang bicara kepada teman yang duduk di depannya.
Lalu mengapa doa itu begitu menyentuh? Saya pikir, mungkin karena doa itu dinaikkan dengan sepenuh hatinya, dengan segala ketulusan nuraninya. Saya bisa merasakan ketulusan itu. Ibu ini tidak sedang pamer kehebatan di dalam berdoa, tidak sedang melakukan pertunjukan, tidak sedang mencari pujian. She did not try to impress anybody, but she tried to express her mind and feeling to the Lord.
***
Ada satu hal lagi yang memenuhi pemikiran saya. Saya terus-menerus bertanya kepada diri saya sendiri: mengapa ibu ini akhirnya berani berdoa di muka umum? Saya mendengar dari seorang teman, bahwa sebenarnya ibu ini sudah lama punya keinginan untuk berdoa di muka umum. Tetapi, mengapa baru sekarang hal itu terwujud?
Apakah selama ini dia merasa tidak siap? Kalau benar begitu, lalu mengapa sampai ada perasaan tidak siap? Apakah dia berpikir bahwa orang lain menuntut suatu standar tertentu di dalam berdoa, dan dia merasa belum mampu mencapai standar tersebut? Apakah selama ini ia merasa minder karena mendengar doa-doa "bagus" yang diucapkan oleh orang lain?
Ataukah, sebenarnya lingkungannya yang menjadi penghalang baginya? Apakah karena selama ini tidak ada satu orang pun yang terpikir untuk memintanya berdoa? Apakah orang-orang di sekitarnya selama ini tidak menampakkan apresiasi dan penghargaan yang memberi dorongan kepadanya? Ataukah selama ini suasana yang ada tidak cukup hangat atau welcome sehingga menimbulkan rasa sungkan dan takut?
***
Saya tidak bisa dengan tuntas menjawab semua pertanyaan itu. And to tell you the truth, I don't really mind. Sebab apapun jawabannya, yang penting malam itu saya diijinkan memperoleh pengalaman yang begitu berharga!
Terimakasih, Saudaraku. Karena telah membuka pintu rumahmu, membuat kami merasa diterima, merasa at home. Sampai-sampai, keramahan suasananya mampu memberikan dorongan dan keberanian bagi seseorang untuk mencurahkan hatinya kepada Tuhan.
Terima kasih, Ibu. Doa Ibu semalam adalah doa yang sangat indah. Saya belajar banyak darinya. Saya mendapat banyak berkat olehnya.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home