Saturday, April 29, 2006

Piala Wening

Sekitar dua minggu yang lalu, saya mendapat SMS dari Rut, istri saya. Saya diminta membuat satu kalimat penghargaan untuk Wening. Katanya, kalimat itu akan di-grafir di sebuah piala. Tentu saja saya bertanya: ”Piala apa?” Rupanya, dalam rangka Perayaan Paskah, Wening ikut lomba menyanyi di sekolahnya. Hanya saja, dia belum memenangkan lomba itu, sehingga tidak mendapat piala. Dan itu membuat Wening sangat sedih. Rut kemudian memutuskan untuk membelikan piala sendiri bagi Wening. Saya sangat setuju dengan keputusan itu.


Inilah kalimat yang ter-grafir di piala itu: ”Diberikan kepada Wening sebagai penghargaan untuk keberaniannya maju ikut lomba menyanyi di sekolah.” Kalimat itu ditulis dalam bahasa Inggris, karena kami ingin agar Wening tahu, bahwa sayalah yang membuat kalimat itu; sehingga dia tahu bahwa walaupun terpisah jauh, ayahnya masih bisa terlibat di dalam hidupnya.

Ketika Rut menyerahkan piala itu kepada Wening, ia memberikan penjelasan bahwa piala itu bukan dari sekolah; dan diberikan bukan karena Wening menang lomba menyanyi. Tetapi, piala itu dari Pap dan Mam, karena kami bangga Wening sudah berani maju ikut lomba. Can you guess how she responded? Gembiranya minta ampun! Kata Rut, dalam beberapa malam piala itu dikeloni Wening dalam tidurnya!

Berapa sih harga piala itu? Tidak sampai 50 ribu rupiah. Seberapa susah sih untuk pergi membeli dan meng-grafirnya? Tidak susah sama sekali—semua orang pasti bisa melakukannya. Berapa lama sih waktu yang dibutuhkan untuk menyusun kalimat penghargaan itu? Tidak sampai 1 menit. Jadi, kalau diukur dari harga dan tingkat kesulitan untuk membuatnya, sebenarnya piala itu sangat kecil nilainya.

Tetapi, bagi Wening, dan bagi kami berdua, piala itu punya arti yang sangat besar. Karena, itu adalah simbol penghargaan kami, lambang penerimaan kami kepada Wening: walaupun dia tidak menang, walaupun dia tidak mendapat penghargaan dari sekolah, kami tetap menerima dia dan tetap mencintai dia.

***

Setiap kali saya punya kesempatan untuk belajar tentang kehidupan Tuhan Yesus, saya selalu saja dibuat kagum dengan keyakinan DiriNya. Tidak ada satupun yang membuatNya grogi. Ia tidak pernah salah tingkah atau besar kepala ketika dipuji. Ia tidak pernah stress atau bersedih ketika dimaki.

Tidak ada orang yang bisa membuatNya sakit hati, tidak ada satu keadaan apapun yang bisa membuatNya putus asa. Bahkan, ketika penolakan orang kepadaNya itu mencapai klimaks di kayu salib, Ia tidak mengalami kepahitan, Ia tidak marah atau mendendam, justru Ia berdoa agar Tuhan mengampuni mereka.

Apa rahasiaNya? Bisakah saya memiliki rasa aman (security) seperti itu di dalam batin saya?

Saya sadar, bahwa saya belum memiliki keyakinan dan rasa aman itu. Saya masih tersinggung dan sakit hati karena perlakuan orang lain, dan saya masih terluka ketika tidak dihargai. Itu menunjukkan bahwa sebenarnya saya merasa tidak aman dengan diri saya sendiri. Saya masih membutuhkan penerimaan (approval) dari orang lain. Dan ketika penerimaan itu tidak saya peroleh, maka saya merasa diri saya ini tidak berharga; dan hati saya menjadi terluka.

***

Setelah 30 tahun tinggal bersama keluargaNya sebagai tukang kayu, Tuhan Yesus memulai pelayananNya. Ia tidak memulai dengan melakukan mujizat atau berkhotbah. Ia juga tidak memulai dengan mengumpulkan orang untuk membuat organisasi. Tetapi, Ia memulai dengan pergi ke lokasi pembabtisan Yohanes, dan minta agar Yohanes membabtisNya. Inilah yang kemudian terjadi:

Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan." (Matius 3:16)
Pada hari pembabtisan itu, Allah Bapa di surga dengan tegas menyatakan approval-Nya kepada Tuhan Yesus. Allah Bapa menyatakan dengan jelas bahwa Ia mengakui Tuhan Yesus sebagai AnakNya, bahwa Ia mengasihi Tuhan Yesus, dan bahwa Ia berkenan kepada hidup Tuhan Yesus. Dalam versi NIV, kata ”berkenan” diterjemahkan sebagai ”well pleased”. Berarti, Allah Bapa sangat senang dengan hidup Tuhan Yesus. Allah Bapa menyatakan bahwa Ia menerima dan menghargai Tuhan Yesus.

Do you know what really impress me from that story? Yang paling berkesan bagi saya adalah: pernyataan penerimaan dan penghargaan itu justru diberikan ketika Tuhan Yesus belum melakukan apa-apa bagi BapaNya. Ia belum mulai memberitakan Injil, Ia belum mulai berkhotbah, Ia belum menyembuhkan orang, Ia belum melakukan mujizat, Ia belum memenangkan orang berdosa, dan Ia belum mati di atas kayu salib!

Tuhan Yesus belum mulai melakukan misi yang ditetapkan oleh BapaNya. Namun, sebelum Ia melakukan itu semua, BapaNya telah menyatakan penerimaan dan penghargaanNya!

Saya pikir, itulah rahasianya! Tuhan Yesus tahu pasti, bahwa BapaNya menerima dan menghargaiNya. Tuhan Yesus yakin pasti, bahwa BapaNya telah memberikan approval atas hidupNya. Dan penerimaan serta penghargaan dari BapaNya itu sudah cukup bagi Tuhan Yesus! He don’t need any approval from anybody else! Seluruh dunia boleh membenciNya, semua orang boleh menolakNya. Tidak jadi soal, sebab BapaNya yang di sorga berkenan kepadaNya.

Betapa berbedanya cara Tuhan dan cara dunia. Di dunia, orang harus lebih dulu melakukan sesuatu yang baik supaya mendapat penerimaan dan penghargaan. Itulah sebabnya, orang jungkir balik setengah mati untuk berprestasi, untuk melakukan sesuatu yang berarti, untuk memiliki hal yang dipandang bernilai—supaya diterima dan dihargai orang lain.

Itulah yang menyebabkan orang membeli ijazah palsu: karena ia berpikir, orang akan kurang menghargainya kalau ia tidak punya titel akademis. Itulah yang membuat banyak remaja memakai obat bius: karena ia berpikir, bahwa tanpa itu ia tidak akan diterima oleh teman-temannya. Dan ketika ia sudah merasa melakukan banyak kebaikan, tetapi orang tidak menghargainya; ia menjadi terluka dan sakit hati! Itulah cara dunia.

Inilah cara Allah: ”Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8). Ia mengasihi saya tanpa syarat. Kristus mati bagi saya, bukan karena saya sudah hidup kudus, bukan pula karena saya sudah melakukan sesuatu untukNya. Ia telah mati bagi saya, justru ketika saya masih ada di dalam dosa. Oleh sebab itu, keselamatan dan penerimaan dari Tuhan tidak akan pernah bisa diperoleh dengan usaha saya sendiri, melainkan semata-mata karena anugerahNya saja (Efesus 2:8,9).

***

Betapa saya ingin memiliki hati yang sederhana seperti Wening. Selama orangtuanya menerima dan mengasihinya, Wening tidak peduli apa kata dunia tentangnya. Selama orangtuanya menghargainya, Wening tidak membutuhkan approval dari siapapun juga. Betapa saya ingin memiliki hati seperti Tuhan Yesus. Oleh karena BapaNya telah menyatakan penerimaan dan penghargaanNya, Tuhan Yesus tidak membutuhkan approval dari orang lain.

Inilah doa saya. Agar saya selalu ingat, bahwa Kristus sudah menerima saya-apa adanya saya: bukan karena kebaikan saya, namun justru ketika saya masih berdosa. Agar saya selalu ingat, bahwa apapun kata orang tentang saya, apapun pandangan orang mengenai saya-selama saya berada di posisi yang benar di hadapan Tuhan; saya tidak perlu terluka, saya tidak perlu merasa ditolak (rejected).

Karena saya tahu, di sana, di surga, di meja kerja Bapa saya, ada satu folder berisi file kehidupan saya; dan folder itu telah distempel dengan tulisan: APPROVED BY GOD!

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home