Tuesday, May 09, 2006

Lessons From the Beaconfield Mine

Jam 5 pagi. Saya sedang minum kopi panas untuk mengusir rasa kantuk, sambil menonton acara khotbah di televisi. Saya menyukai pembicara yang satu ini. Saya tidak selalu setuju atau menerima pengajarannya, namun saya kagum kepada kemampuannya di dalam berkomunikasi. He is a very good communicator.

Sementara acara itu berlangsung, beberapa kali terjadi interupsi. Acara itu dipotong untuk menayangkan siaran langsung pembebasan 2 pekerja tambang yang sudah 2 minggu terperangkap di dalam sebuah tambang di Beaconfield, Tasmania.


Do you know how I responded? Mula-mula, biasa saja. Sebagai pengajar ilmu jurnalistik, saya tahu apa itu ”berita” dan apa yang harus dilakukan seorang wartawan: menyiarkannya sesegera mungkin. Namun, setelah interupsi itu berlangsung beberapa kali, dan kemudian acara khotbah itu dihentikan sama sekali; saya mulai merasa jengkel.

***

Mengapa saya menjadi jengkel? Satu-satunya alasan kejengkelan saya adalah: saya tidak bisa menonton acara yang saya sukai, gara-gara stasiun tv itu memilih untuk memberitakan usaha pembebasan 2 jiwa manusia yang sudah terperangkap selama 2 minggu di dalam tambang!

Oh, betapa jahat dan egoisnya hati saya! Saya tidak peduli ada 2 orang yang terjebak selama 14 hari di dalam gelapnya tambang. Saya tidak merasa iba kepada keluarga mereka yang sport jantung selama ini. Saya tidak memandang nasib mereka sebagai sesuatu yang penting. They are not important to me. The most important thing for me is my tv programme and my happiness. Me, my, mine! What a selfish heart I have!

Saya jadi mempertanyakan semua tindakan saya selama ini. Apakah saya benar-benar mengasihi orang lain atau memperhatikan kepentingan mereka? Apakah saya benar-benar melayani mereka? Ataukah, sebenarnya saya melakukannya karena saya memperoleh keuntungan—materi atau emosi? Benarkah hati saya murni tanpa selfish motivation sama sekali?

***

Sering kita berkata: ”Orang itu kelihatannya kasar, namun sebenarnya hatinya baik kok.” Atau, ketika kita memberikan alasan bagi sikap dan tindakan kita: ”Maksud dan niat di dalam hatiku baik, kok.” Pada saat itulah kita sedang dikelabuhi mentah-mentah. Because, heart is the worst part of a human being!

Saya teringat kepada Petrus. Di malam penangkapan Tuhan Yesus, ia dan ke-11 rasul yang lain diperingatkan, bahwa malam itu iman mereka akan goyah. Secara khusus, Tuhan Yesus memberitahu Petrus: “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (Lukas 22:31-32).

Do you know what Peter said? Petrus dengan bersemangat berkata bahwa, semua orang boleh goyah imannya, namun dia tidak akan meninggalkan Tuhan Yesus, walau sampai harus dipenjara dan mati sekalipun. Tuhan Yesus kemudian menubuatkan bahwa sebelum ayam berkokok, Petrus akan menyangkal-Nya 3 kali. Sekali lagi, Petrus menolak mentah-mentah prediksi itu. “I will not betray You!” katanya.

Dan kita tahu apa yang kemudian terjadi. Sebelum ayam jantan berkokok, Petrus menyangkali Tuhan Yesus 3 kali. Bahkan, pada penyangkalannya yang terakhir, Petrus sampai bersumpah-sumpah bahwa ia tidak mengenal Tuhan Yesus. Orang yang beberapa jam lalu berkata siap mati untuk Tuhan, sekarang mati-matian menyangkal Tuhan di depan seorang hamba perempuan!

***

Banyak orang mengatakan bahwa persoalan Petrus adalah persoalan: ketidaktulusan (insincerity). Tetapi, saya pikir bukan itu masalahnya. Saya yakin, Petrus sangat tulus dan bersungguh-sungguh ketika mengatakannya. He really meant it. Tidak ada niat untuk membohongi Tuhan Yesus. Tidak ada rencana untuk mengkhianati Tuhan Yesus.

Saya pikir, persoalan Petrus adalah: ketidaktahuan (ignorance). Ia tidak tahu seperti apa hatinya. He did not know what he was capable of. Ia tidak tahu seberapa parah sebenarnya dia bisa jatuh. Dia merasa kuat, dia merasa tidak akan bisa melakukan suatu kesalahan tertentu.

Bukankah itu yang juga sering kita pikirkan? Kita sadar bahwa kita memiliki beberapa kelemahan, dan kita mengakui kelemahan-kelemahan itu. Kita selalu berusaha untuk berhati-hati dan berawas-awas di bidang-bidang itu. Namun, ada beberapa bidang yang lain di mana kita merasa kuat dan ”aman”, sehingga bisa berkata: ”Saya nggak seperti itu, kok.”

Kalau saya boleh berterus terang, saya berani memastikan bahwa di antara ke-10 Hukum Taurat, ada 4 hukum yang kita semua yakin bahwa kita tidak akan melakukannya: memiliki allah yang lain, membuat dan menyembah berhala, membunuh, dan berzina. Saya pikir, sebagian terbesar dari kita berani untuk mengatakan: “Saya tidak akan melakukan dosa-dosa itu.”

Keyakinan seperti itu sangat ”legitimate” dan meyakinkan. Kita tidak sedang berpura-pura; kita tulus dan bersungguh-sungguh ketika mengatakannya. Karena mungkin selama ini kita tidak melakukan dosa-dosa itu. Namun, apakah kita bisa menjamin bahwa kita tidak akan pernah melakukannya? Seorang teman pernah berkata: ”Never say never!”
Hati manusia tak dapat diduga, paling licik dari segala-galanya dan terlalu parah penyakitnya (Yeremia 17:9).
***

Sekarang jam 6.18. Saya menuliskan kalimat ini tepat ketika kedua pekerja tambang itu keluar dari mulut tambang, berpelukan dengan keluarganya, dan kemudian dibawa ke rumah sakit. Setelah saya mengakui ke-egoisan saya, saya jadi bisa menonton siaran langsung pembebasan itu. Saya tidak lagi merasa jengkel. Toh, besok pagi saya masih bisa menonton acara khotbah itu; tetapi siaran langsung ini tidak akan terjadi lagi.

Pagi ini, saya ditegur dalam hal ke-egoisan hati saya. Nanti siang, nanti malam, atau besok pagi, saya tidak tahu teguran apa lagi yang akan saya dengar. And that’s good for me. Itu menunjukkan bahwa Tuhan care kepada saya, itu membuktikan bahwa Ia menganggap saya sebagai anakNya. Ia ingin agar saya tidak merasa kuat dan “aman”, tetapi terus-menerus waspada dengan potensi kejahatan di dalam hati saya.
Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh! (1 Korintus 10:12)
Setelah menulis tentang Allah yang Mahatahu dalam Mazmur 139, Daud menutup renungannya dengan doa ini: ”Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (ayat 23-24). I think, I will make David’s petition my daily prayer.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home